Akhlaq : Berbakti Kepada Ibu #1

Dari Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُوْصِيْكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثَلَاثًا، إنَّ اللَّهَ يُوْصِيْكُمْ بِآبَائِكُمْ، إنَّ اللَّهَ يُوْصِيْكُمْ بِالأَقْرَبِ فَالأَقرَبِ

“Sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, beliau ulangi 3 kali. Sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian. Sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat.”[1]HR. Ibnu Majah no. 3661 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengulang wasiat untuk berbuat baik kepada seorang ibu sebanyak tiga kali, guna menambahkan penekanan akan besarnya hak mereka, lelahnya mereka, besarnya kebaikan mereka dan beratnya mereka di saat hamil, melahirkan, menyusui dan mendidik anak.

عن عبدالله بن عمرو رضي الله عنهما قال: جاء رجل إلى النبي يبايعه على الهجرة، وترك أبويه يبكيان، فقال: ارجع إليهما وأضحكهما كما أبكيتهما

Dari Abdulah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam untuk membaiat beliau dalam hijrah, sementara ia meninggalkan kedua orang tuanya dalam keadaan menangis. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kembalilah engkau kepada kedua orang tuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.”[2]HR Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 8 dan Abu Dawud no. 2528, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah : 2898

Termasuk balasan yang baik bagi kedua orang tua adalah hendaknya sang anak selalu memberikan kebahagiaan kepada keduanya dan tidak melakukan suatu tindakan yang membuat keduanya bersedih atau membuat keruh masa-masa senang keduanya atau menyebabkan keduanya menangis dan merasa sakit hati. Bahkan sebaliknya, seorang anak harus berusaha keras agar dapat selalu memberikan kebahagiaan kepada hati kedua orang tuanya atau melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahagiakan mereka.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Pernah seseorang mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu ia minta izin untuk berjihad. Lalu Beliau bertanya, ‘Apakah kedua orang tua masih hidup?’ Orang itu menjawab, ‘Iya.’ Beliau bersabda, ‘Berjihadlah dalam mengurus keduanya.”[3]HR. Bukhari no. 5972 dan Muslim no. 2549

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rohimahullahu ta’ala, “Yaitu, jika kamu memiliki kedua orang tua, maka curahkanlah kesungguhanmu di dalam berbakti dan berbuat baik kepada keduanya. Karena dengan seperti itu kamu akan bisa menempati kedudukan orang-orang yang memerangi musuh (jihad) di medan perang.”[4]Fathul Baari : 10/403

Dari Abu Said radhiallahu anhu, dia berkata,

أن رجلا هاجر إلى النبي صلى الله عليه وسلم من اليمن ، فقال : هل لك أحد باليمن ؟ فقال أبواي ، فقال : أذنا لك ؟ قال : لا ، قال : فارجع إليهما ، فاستأذنهما ، فإن أذنا لك فجاهد وإلا فبرهما ( أخرجه أحمد 3/75-76 ، وأبو داود 3/39)

“Seseorang berhijrah menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Yaman. Maka beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) bertanya, ‘Apakah engkau memiliki kerabat di Yaman?’ Dia menjawab, ‘Kedua orang tuaku.’ Maka beliau berkata, ‘Apakah keduanya telah mengizinkan kamu?’ Beliau berkata, ‘Tidak.’ Maka Nabi shallalllahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kembalilah kepada keduanya, jika keduanya mengizinkan, maka berjihadlah, jika tidak, maka berbaktilah kepada keduanya.” [5]HR. Ahmad no. 11721, Abu Dawud no. 2530 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani

Di dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya meminta izin kepada kedua orang tua untuk berangkat jihad sekaligus dalil haramnya berangkat jihad tanpa izin dari keduanya. Karena berbakti kepada keduanya adalah fardhu ‘ain dan berbuat baik kepada keduanya adalah sebesar-besarnya jihad.

عن معاوية بن جاهمة السلمي أن جاهمة جاء إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال يا رسول الله أردت أن أغزو وقد جئت أستشيرك فقال هل لك من أم قال نعم قال فالزمها فإن الجنة تحت رجليها

Dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami bahwasanya Jahimah datang kepada Nabi shallallahu ‘alihi wasallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku hendak berjihad, aku menemuimu untuk meminta pendapatmu.” Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam berkata, “Apakah engkau memiliki ibu?” Ia menjawab, “Iya.” Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam berkata, “Senantiasalah bersamanya, sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya.” [6]HR An-Nasai 6/11 no. 3104, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani. lihat As-Silsilah Ad-Dho’ifah 2/59 no. 593

Maksudnya adalah barangsiapa yang mau berbakti kepada ibunya dan menegakkan hak-hak ibunya, maka dia akan masuk surga.

Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya.”[7]HR. Ahmad 28276, Turmudzi 1900, Ibnu Majah 3794, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani

Artinya, bahwa orang tua adalah sebaik-baik pintu dan setinggi-tingginya pintu menuju Surga. Dan makna hadits di atas adalah, bahwa sebaik-baik wasilah yang bisa dilakukan untuk mencapai surga dan derajat ketinggiannya adalah dengan taat kepada orang tua dan memperhatikan hak-haknya. Apabila hal ini dilakukan kepada seorang ayah, keutamaannya sangat besar. Maka bagaimana jika dilakukan kepada seorang ibu? Tentu lebih besar lagi keutamaannya.

Dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi disebutkan keterangan Al-Baidhawi. Al-Qadhi Baidhawi mengatakan, “Makna hadits, bahwa cara terbaik untuk masuk surga, dan sarana untuk mendapatkan derajat yang tinggi di surga adalah menaati orang tua dan berusaha mendampinginya. Ada juga ulama yang mengatakan, ‘Di surga ada banyak pintu. Yang paling nyaman dimasuki adalah yang paling tengah. Dan sebab untuk bisa masuk surga melalui pintu itu adalah menjaga hak orang tua.’[8]Tuhfatul Ahwadzi, 6/21

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

لاَ يَجْزِى وَلَدٌ وَالِدَهُ إِلاَّ أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوْكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ

“Seorang anak tidak dapat membalas budi kedua orang tuanya kecuali jika dia menemukannya dalam keadaan diperbudak, lalu dia membelinya kemudian membebaskannya.”[9]Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 10. Shahih, Lihat Al Irwa’ 1737, Muslim : 20, kitab Al ‘Itqu, hal 25-26, Abu Dawud no. 5137 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani

Di dalam hadits ini menjelaskan tentang besarnya balasan bagi kedua orang tua. Seorang anak, bagaimanapun caranya, dia mencurahkan segala kebaikan, pengabdian dan bantuan untuk keduanya, maka hal itu belum bisa membalas kebaikan orang tua kepadanya, kecuali pada keadaan yang sudah Nabi sebutkan dalam hadits.

Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang tawaf di sekitar ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ –  إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

“Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh. Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.”

ثُمَّ قَالَ : ياَ ابْنَ عُمَرَ أَتَرَانِى جَزَيْتُهَا ؟  قَالَ : لاَ وَلاَ بِزَفْرَةٍ وَاحِدَةٍ، ثُمَّ طَافَ ابْنُ عُمَرَ فَأَتَى الْمَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ : يَا بْنَ أَبِى مُوْسَى إِنَّ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ  تُكَفِّرَانِ مَا أَمَامَهُمَا

Orang itu lalu berkata, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.” Beliau lalu tawaf dan salat dua rakaat pada maqam Ibrahim lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah), sesungguhnya setiap dua rakaat (pada maqam Ibrahim) akan menghapuskan berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya.”[10]Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 11, shahih secara sanad

Intinya, apapun yang dilakukan seorang anak untuk membalas kebaikan orang tua, maka tidak akan pernah bisa, sekalipun hanya setarik nafas sang ibu saat melahirkannya. Namun hal ini bukan berarti menjadikan kecil hati sang anak untuk berbuat baik kepada orang tua, justru sebaliknya, ini dijadikan sebagai pemecut agar lebih giat, bersungguh-sungguh dan berusaha keras di dalam berbakti kepada mereka.

Bersambung insyaallah.

Referensi:

Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala halaman 37 – 42

Diringkas oleh Ahmad Imron Al Fanghony

Referensi

Referensi
1 HR. Ibnu Majah no. 3661 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
2 HR Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 8 dan Abu Dawud no. 2528, dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah : 2898
3 HR. Bukhari no. 5972 dan Muslim no. 2549
4 Fathul Baari : 10/403
5 HR. Ahmad no. 11721, Abu Dawud no. 2530 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
6 HR An-Nasai 6/11 no. 3104, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani. lihat As-Silsilah Ad-Dho’ifah 2/59 no. 593
7 HR. Ahmad 28276, Turmudzi 1900, Ibnu Majah 3794, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
8 Tuhfatul Ahwadzi, 6/21
9 Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 10. Shahih, Lihat Al Irwa’ 1737, Muslim : 20, kitab Al ‘Itqu, hal 25-26, Abu Dawud no. 5137 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
10 Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 11, shahih secara sanad
Back to top button