Jasmani dan Dunia
Jasmani dan Dunia
Ibnu Al Jauzi berkata : Saya berpikir mendalam tentang syahwat dunia. Saya menemukan betapa banyaknya syahwat yang menjerat di dunia yang mencelakakan. Barang siapa yang akalnya lebih kuat daripada watak pribadinya dan bisa menguasainya, ia akan selamat. Sebaliknya, jika ia terkalahkan, celakalah ia.
Saya menyaksikan sebagian dari budak-budak dunia, mereka mabuk dengan budak-budak perempuan mereka, namun menikah pula dengan wanita-wanita yang merdeka. Akibatnya, padamlah api semangat dan gairah dalam diri mereka.
Bagi saya, tak ada yang lebih merusak daripada mabuk akan wanita. Oleh karena setiap kali manusia condong kepada hal-hal yang cantik, elok dan menggiurkan, maka gelegak syahwat melonjak melebihi batas wajar. Ketika itulah seseorang rawan kehilangan kendali atas dirinya.
Selain itu, jika ia menikah dengan wanita-wanita yang tidak mempesona bagi dirinya, maka gairah seks pun akan turun dan ia tidak mengeluarkan apa yang seharusnya ia salurkan.
Demikian pula mereka yang terlalu banyak makan biasanya akan banyak melakukan hal-hal yang menyimpang. Begitupun makan yang terlalu sedikit akan berdampak kurang baik bagi yang bersangkutan. Akhirnya saya sadar bahwa yang terbaik adalah yang di tengah-tengah. Lebih tidak, kurang pun tidak.
Dunia ini akan menjadi arena ujian dan cobaan, maka hendaklah akal dikedepankan. Barangsiapa yang menyerah kepada hawa nafsunya, ia akan sangat mudah celaka. Ini berhubungan dengan badan dan dunia, kini lakukanlah perbandingan pada hal-hal yang bersifat ukhrawi.
Sibuk Cari Nafkah
Beliau Ibnu Al Jauzi juga berkata : Saya sering mengulang kalimat ini dengan berbagai bentuk, yaitu selayaknya seorang mukmin menyibukkan diri dengan kehidupan yang dihadapinya dan selalu mencari cara mendapatkan nafkah.
Dulu, para ulama memiliki bagian dari baitul mal meski dalam jumlah sedikit atau mendapatkan tunjangan dari teman-temannya dan bantuan dari orang lain. Akan tetapi, tatkala itu semua terputus, sementara mereka masih menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, mereka menjadi manusia yang sangat merana, terlebih jika mereka memmiliki banyak tanggungan.
Kita tidak melihat zaman yang lebih buruk daripada zaman kita ini. Tidak ada lagi manusia yang dengan sukarela dan lapang dada memberikan batuan dan pinjaman. Ada seorang mukmin bahkan terpaksa memasuki wilayah-wilayah yang sebenarnya sangat tidak pantas untuknya. Ia terjebak dalam ruang yang di situ Islam tidak mendapat tempat yang wajar.
Oleh karena itu, setiap orang wajib memberi makan kepada kerabat dan keluarganya dengan mencari bekal hidup. Kehidupan yang tenang lebih baik daripada menyibukkan diri dengan ibadah dan menuntut ilmu tetapi hati tidak menikmati ketenangan. Jika seseorang tidak dapat merasa tenang menghadapi hidup karena ketiadaan sarana, situasi tersebut akan menghancurkan agamanya dan akan menjadikan dirinya terjerembab dalam kubangan kehinaan.
( Diringkas dari kitab Shoidul Khotir, Karya Ibnu Al Jauzi )
( Pesantren ”Al Ukhuwah” Joho Sukoharjo, Jawa Tengah.
Kamis, 14 Desember 2016 M ).