Syari’at terbangun di atas dua hal

KAIDAH KELIMA
الشَّرِيْعَةُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى أَصْلَيْنِ : الإِخْلاَصُ لِلْمَعْبُوْدِ وَالْمُتَابَعَةُ لِلرَّسُوْلِ
Syari’at terbangun di atas dua hal, yaitu ikhlas kepada Allah dan meneladani Rasul
Kedua hal tersebut merupakan syarat diterimanaya amal ibadah, baik berupa amalan lahiriah seperti perkataan dan perbuatan anggota badan, dan juga amalan batiniah seperti amalan hati.
Allah ﷻ berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. (QS. Al Bayyinah : 5)
Kata الدِّينَ dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi ﷺ dalam hadits Jibril, bahwa makna الدِّينَ adalah rukun Islam yang lima, rukun iman yang enam, dan ihsan yang merupakan pokok amalan hati. [1]
Oleh karena itu, semua perkara tersebut haruslah diikhlaskan hanya untuk Allah semata, dalam rangka mengharapkan wajah-Nya, ridha-Nya, dan pahala dari-Nya.
Wajib Meneladani Rasulullah ﷺ dalam beribadah
Demikian pula, amalan tersebut haruslah dilaksanakan dengan landasan hukum dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini sebagaimana firman Allah ﷻ ketika menjelaskan tentang wajibnya meneladani Rasulullah ﷺ :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr : 7)
Allah telah mengumpulkan eksistensi kedua syarat diterimanya amal ibadah tersebut dalam firman-Nya :
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan. (QS. An Nisaa’ : 125)
Dalam ayat tersebut, yang dimaksud dengan أَسْلَمَ وَجْهَهُ adalah mengikhlaskan amalan-amalan yang bersifat lahiriah maupun batiniah hanya untuk Allah . Dan yang dimaksud dengan وَهُوَ مُحْسِنٌ adalah ia berbuat ihsan dengan meneladani Rasulullah ﷺ dalam amal-amal ibadah yang ia kerjakan tersebut.
Maka amalan yang diterima adalah amalan yang terkumpul di dalamnya dua sifat tersebut. Apabila salah satu atau kedua sifat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak dan masuk dalam kategori amalan yang disebutkan Allah dalam firman-Nya :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al Furqaan : 23)
Amalan yang Ikhlas dan Riya’
Allah berfirman ketika membedakan antara amalan orang-orang yang ikhlas dengan amalan orang-orang yang riya’ :
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآَتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah : 265)
Dan Allah berfirman :
وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا
Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (QS. An Nisaa’ : 38)
Demikian pula, Rasulullah ﷺ telah bersabda ketika menjelaskan tentang hijrah yang termasuk seutama-utama amalan :
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. [2]
Rasulullah ﷺ juga pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena keberanian, dan berperang karena kesukuan, dan karena tujuan mendapatkan ghanimah, siapakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah ﷻ. Maka beliau ﷺ bersabda :
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ
Barangsiapa yang berperang supaya kalimat Allah adalah yang tertinggi maka dia lah yang berperang di jalan Allah. [3]
Oleh karena itu, barangsiapa yang jihadnya secara lisan maupun perbuatan diniatkan karena Allah ﷻ dan untuk menolong kebenaran maka ia adalah seorang yang ikhlas dalam jihadnya. Dan barangsiapa yang meniatkan selain hal itu, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan sedangkan amalannya tidaklah diterima.
Beribadah tanpa meneladani Rasulullah ﷺ adalah batil
Pada ayat yang lain Allah ﷻ telah berfirman ketika menjelaskan tentang amalan yang dilaksanakan tanpa meneladani Rasulullah ﷺ:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا (103) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi : 103-104)
Dan Allah ﷻ berfirman :
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk . (QS. Al Qashash : 50)
Oleh karena itu, amalan shalih yang dikerjakan seseorang karena riya’ maka amalan tersebut batil karena tidak adanya keikhlasan di dalamnya. Dan amalan yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah ﷻ namun amalan tersebut tidak ada landasan hukumnya secara syar’i maka amalan tersebut batil pula, karena tidak disertai mutaba’ah. Demikian pula, keyakinan-keyakinan yang tidak ada landasannya dalam Al Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ, seperti keyakinan ahlul bid’ah yang menyelisihi apa yang dipijak oleh Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya. Semuanya itu masuk dalam sabda Nabi ﷺ:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap perbuatan dilaksanakan dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. [4]
Dan sabda Nabi ﷺ:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak. [5]
Hadits pertama tersebut menjadi timbangan amalan dari sisi batinnya, dan hadits kedua menjadi timbangan amalan dari sisi lahirnya.
Mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah ﷻ semata merupakan suatu perkara yang telah datang di dalamnya nash-nash Al Qur’an dan As sunnah yang memerintahkannya, menjelaskan keutamaannya, dan batilnya amalan jika tidak disertai dengannya. Adapun niat untuk mengerjakan amalan itu sendiri, maka meskipun hal itu harus ada dalam setiap amalan, akan tetapi hal tersebut dipastikan keberadaannya dalam setiap amalan yang dikerjakan oleh orang yang memiliki akal dan kesadaran. Karena niat dalam makna tersebut merupakan suatu keinginan untuk mengerjakan suatu perbuatan, dan setiap orang yang berakal pasti meniatkan amalan yang ia kerjakan tersebut.
Beberapa permasalahan yang dapat menggunakan Kaidah di atas
Muamalah
Sebagaimana kaidah ini masuk dalam permasalahan ibadah, maka masuk pula dalam permasalahan muamalah. Maka setiap muamalah baik berupa jual beli, ijarah (sewa-meyewa), syirkah (persekutuan dagang), atau selainnya yang terdapat larangannya dalam syari’at, maka muamalah tersebut batil dan haram dilaksanakan, meskipun pelaku muamalah tersebut saling ridha. Dikarenakan keridhaan dalam masalah ini disyaratkan setelah terpenuhinya keridhaan Allah ﷻ dan rasul-Nya
Oleh karena itu, praktek-praktek muamalah yang dilarang oleh Allah ﷻ dan Rasul-Nya, seperti melebihkan sebagian anak atas sebagian yang lain dalam pemberian, wasiat, dan warisan. Rasulullah ﷺ bersabda :
لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris. [6]
Wakaf
Demikian pula, dalam permasalahan wakaf, syarat yang diberikan oleh orang yang mewakafkan haruslah tidak menyelisihi syari’at. Jika ternyata menyelisihi syari’at maka syarat tersebut tidaklah dianggap. Dalam hal ini, yang menjadi timbangan dalam penentuan syarat tersebut secara umum adalah sabda Nabi ﷺ :
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum muslimin di atas syarat-syarat yang mereka tentukan, kecuali jika syarat tersebut mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram. [7]
Pernikahan
Berkaitan dengan masalah pernikahan, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, bentuk-bentuk nikah yang dihalalkan dan yang diharamkan, masalah talaq, ruju’, dan seluruh hal yang berkaitan dengannya, haruslah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syar’i, jika tidak demikian maka hal tersebut tertolak.
Allah ﷻ berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An Nisaa’ : 65)
Dan Allah ﷻ berfirman :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisaa’ : 59)
Sumpah
Demikian pula tentang permasalahan sumpah. Tidak boleh seseorang bersumpah dengan selain Allah ﷻ, atau nama-nama-Nya, atau sifat-sifat-Nya, karena hal tersebut tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Dan dalam permasalahan nadzar Rasulullah ﷺ bersabda :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ , وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللهَ فَلاَ يَعْصِهِ
Barangsiapa yang bernadzar untuk melaksanaakan ketaatan kepada Allah maka hendaklah ia menunaikan nadzarnya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk berbuat maksiat kepada Allah maka janganlah ia menunaikan nadzarnya. [8]
Fiqih
Bahkan masalah fiqih dari awal sampai akhir tidaklah terlepas dari kaidah ini. Karena sesungguhnya hukum-hukum syar’i diambil dari empat dasar : Al Kitab, As Sunnah, di mana keduanya adalah pokok dalil syar’i, kemudian ijma’ yang disandarkan pada keduanya, dan qiyas berdasarkan istimbat dari keduanya.
[1] Yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam Kitab Al Iman Bab Su-alu Jibril An Nabiyya r, no. 50. Muslim dalam Kitab Al Iman, Bab Bayanul Iman…. No. 9.
[2] HR. Bukhari dalam Kitab Bad’il Wahyi, no. 1. Muslim dalam Al Imarah bab Qaulihi r : Innamal a’malu bin niyyah, no. 1907.
[3] HR. Bukhari dalam Kitab Al ‘Ilm, Bab man sa-ala wa huwa qaim, no. 123. Muslim dalam Kitab Al Imarah, Bab Man qatala li takuna kalimatullahi hiyal ‘ulya, no. 1904.
[4] HR. Bukhari dalam Kitab Bad-il wahyi, no. 1. Muslim dalam Kitab Al Imarah Bab Qaulihi r Innamal a’malu bin niyyah, no. 1907.
[5] HR. Muslim dalam kitab Al Aqdhiyah, Bab Naqdhil ahkamil bathilah, no. 1718.
[6] HR. Ahmad 5/267. Abu Dawud dalam Kitab Al Washaya, Bab Maa ja-a fil washiyyati lil warits, no. 2870. Tirmidzi dalam kitab Al Washaya, Bab laa washiyyata li waritsin, no. 2121.
[7] HR. Tirmidzi no. 1370.
[8] HR. Bukhari dalam Kitab Al Aiman wan Nudzur, bab An nadzr fit tha’ah, no. 6696.