Kewajiban Dikaitkan Dengan Kemampuan

KAIDAH KEEMPAT

 

الوُجُوْبُ يَتَعَلَّقُ بِاْلاِسْتِطَاعَةِ، فَلاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ، وَلاَ مُحَرَّمَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ

Pelaksanaan Kewajiban Dikaitkan Dengan Kemampuan, Maka Tidak Ada Kewajiban Jika Tidak Mampu Mengerjakannya, dan Tidak Wajib Meninggalkan Suatu Perkara Yang Haram Jika Berada Dalam Keadaan Darurat

 

Di antara dalil yang menunjukkan tentang eksistensi kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At Thaghabuun : 16)

Dan Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian. [1]

Kaidah ini mencakup dua kaidah turunan :

Kaidah pertama : Gugurnya keharusan untuk melaksanakan kewajiban jika seseorang tidak mampu melaksanakannya.

Kaidah kedua      : Halalnya sesuatu yang haram ketika seseorang berada dalam keadaan darurat.

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala setelah menyebutkan tentang haramnya bangkai, darah, dan yang selainnya :

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maaidah : 3)

Dan Allah Ta’ala berfirman ;

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al An’aam : 119)

Ayat ini secara jelas menjelaskan tentang bolehnya memakan makanan yang haram dikarenakan keadaan yang darurat. Hanya saja perlu dipahami bahwa diperbolehkannya hal ini dibatasi sekedar hajat yang ia perlukan (seperlunya saja). Jika telah hilang keadaan darurat tersebut maka wajib baginya untuk berhenti memakannya. [2]

Berkaitan dengan kaidah pertama dalam pembahasan ini, masuk dalam implementasinya beberapa kasus berikut:

  1. Orang yang tidak mampu memenuhi sebagian syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban dalam shalat, maka hal tersebut tidaklah wajib untuk dipenuhi dan ia melaksanakan shalat sesuai dengan kadar kemampuannya.
  2. Orang yang tidak mampu mengerjakan puasa dikarenakan sakit yang terus-menerus dan tidak diharapkan lagi kesembuhnya, atau orang yang sudah tua renta, demikian pula orang yang sedang safar,  maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan jika kemudian udzurnya tersebut hilang, maka mereka mengqadha’ puasa sebanyak hari yang ia tinggalkan tersebut. [3]
  3. Orang yang tidak mampu mengerjakan haji dikarenakan suatu udzur, sedangkan ada kemungkinan udzurnya tersebut akan hilang dalam beberapa waktu ke depan, maka ia bersabar menunggu sampai hilangnya udzur tersebut. Namun, jika hilangnya udzur tersebut tidak bisa diharapkan lagi, maka diperbolehkan baginya untuk memerintahkan seseorang untuk menghajikannya. [4]

Berkaitan dengan kaidah kedua ini pula  Allah Ta’ala berfirman :

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ

Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit. (QS. An Nur : 61)

Ayat ini berkaitan dengan diberikannya keringanan bagi orang-orang yang buta, pincang, atau sakit dalam ibadah-ibadah yang pelaksanaannya bergantung dengan keberaadaan penglihatan, kesehatan badan, dan kesempurnaan anggora badan, seperti jihad dan semisalnya.

Dari sini dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan kewajiban disyaratkan adanya kemampuan. Barangsiapa yang tidak mampu mengerjakannya maka Allah Ta’ala tidak  membebankan kepadanya sesuatu yang tidak ia mampui Demikian pula Nabi r bersabda dalam hadits yang shahih :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengingkari itu dengan tangannya, jika tidak mampu maka ingkarilah dengan  lisannya, dan jika tidak mampu maka ingkarilah dengan hatinya, dan itu adalah serendah-rendah keimanan. [5]

Allah Ta’ala berfirman ketika menjelaskan kewajiban seorang suami untuk memberi nafkah berupa pakaian dan semisalnya kepada keluarganya :

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At Thalaaq : 7)

Demikian pula Rasulullah Sholallahu alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang suami berkaitan dengan harta :

اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ ثُمَّ بِمَنْ تَعُوْلُ

Mulailah dengan dirimu sendiri kemudian orang-orang yang menjadi tanggunganmu. [6]

Termasuk dalam implementasi kaidah kedua ini pula adalah praktek pembayaran kafarah yang sifatnya murattabah (ada urutan pembayarannya), di mana jika seseorang tidak mampu membayar dengan kafarah yang urutannya lebih tinggi, barulah ia  membayar kafarah dengan urutan di bawahnya.

Demikian pula, di antara implementasi kaidah ini adalah keberadaan udzur-udzur syar’i   yang membolehkan seseorang untuk tidak datang menghadiri shalat Jum’at dan shalat Jama’ah.

Adapun berkaitan dengan  kaidah kedua dalam pembahasan ini, maka di antara implementasinya adalah beberapa hal sebagai berikut :

  1. Dikarenakan keadaan darurat, seseorang yang sedang melaksanakan ibadah haji diperbolehkan mengerjakan hal-hal yang dilarang ketika itu, dan sebagai konsekuensinya ia wajib membayar fidyah,  sebagaimana hal ini dijelaskan secara rinci dalam  kitab-kitab fikih.[7]
  2. Ketika shalat berjama’ah, seseorang diperbolehkan sholat dengan berdiri sendirian di belakang shaf jika ia tidak mendapatkan tempat yang kosong pada shaf di depannya. Hal ini dikarenakan perkara-perkara yang wajib dan lebih besar dari permasalahan shaf tersebut suatu ketika bisa gugur jika seseorang tidak mampu mengerjakannya. Maka,  dalam hal ini permasalahan shaf  lebih utama dan lebih pantas.

[1] HR. Bukhari, Kitab Al I’tisham Bab Al Iqtidaa’  bi Sunani Rasulillah r No. 7.288. Muslim, Kitab Al Hajj Bab Fardhu Al Hajj No. 1.337, dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu.

[2] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : Jika ada seseorang yang sedang dalam keadaan darurat (jika tidak makan maka ia akan mati), ia mendapatkan bangkai, apakah diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai itu sampai kenyang ataukah diperbolehkan memakannya hanya sekedar supaya ia tidak mati saja ? Jawabannya adalah yang kedua.  Jika ia berkata : Tapi saya sedang berada di tengah padang pasir yang luas dan saya tidak tahu kapan akan mendapatkan makanan halal yang bisa mengenayangkan  saya!! Maka kita katakan : Jangan memakan bangkai itu sampai kenyang, engkau boleh memenuhi kantongmu dengan bekal daging tersebut namun jangan engkau memakannya sampai kenyang. Bawalah daging bangkai itu dengan kantong atau semisalnya, lalu jika engkau dalam keadaan darurat, maka boleh engkau memakannya, namun jika tidak maka jangan memakannya.

Sebagian ulama’ mengatakan bahwa diperbolehkan bagi orang seperti ini diperbolehkan untuk memakannya sampai kenyang. Akan tetapi yang zhahir adalah bahwa hal itu tidak diperbolehkan.  Dia boleh memakannya sekedar untuk menepis keradaan darurat tersebut dan boleh membawanya untuk bekal sesuai hajat yang ia perlukan setelahnya. (Al Qawa’id wal Ushul Al Jami’ah wal Furuq wat Taqasim Al Badi’ah An Nafi’ah. Ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Maktabah As Sunnah. Kairo. Cetakan Pertama. 2002 M. Hal. 58)

[3] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : Aku yakin bahwa hal ini telah dimaklumi bersama, yaitu bahwa jika telah dating bulan Ramadhan sedangkan seseorang dalam keadaan sakit, jika sakitnya tersebut tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka ia mengganti puasa tersebut dengan memberikan makanan kepada seorang miskin setiap hari yang ia tinggalkan pada bulan Ramadhan tersebut. Namun jika sakitnya itu bisa diharapkan kesembuhannya maka ia menunggu sampai sembuh kemudian mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya tersebut. (Al Qawa’id wal Ushul Al Jami’ah wal Furuq wat Taqasim Al Badi’ah An Nafi’ah. Ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Maktabah As Sunnah. Kairo. Cetakan Pertama. 2002 M. Hal. 59)

[4] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : Apakah diperbolehkan seorang yang sudah tua dihajikan oleh orang lain yang mampu menghajikannya? Jawabannya adalah boleh. Tentang hal ini telah datang sebuah hadits yang menceritakan bahwa ada seorang wanita yang bertanya  kepada Nabi r : Wahai Rasulullah r , telah wajib atas ayahku untuk melaksanakan haji, namun ia adalah seorang yang sudah tua renta dan tidak mampu lagi menempuh perjalanan. Bolehkah aku menghajikannya. Rasulullah r mejawab : Boleh. (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun jika seseorang dalam keadaan sakit dan bisa diharapkan kesembuhannya maka ia menunggu sampai sakitnya  tesebut sembuh kemudian barulah ia melaksanakan haji. (Al Qawa’id wal Ushul Al Jami’ah wal Furuq wat Taqasim Al Badi’ah An Nafi’ah. Ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Maktabah As Sunnah. Kairo. Cetakan Pertama. 2002 M. Hal. 59

[5] HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu Kauni An Nahyi ‘an Al Munkari min Al Iman, hadits No. 49.

[6] Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan dari Jabir –Radhiyallahu ‘anhu- sesungguhnya Nabi r bersabda : Mulailah dengan dirimu sendiri, maka berikanlah sedekah (nafkah) untuk dirimu, jika tersisa maka berikanlah kepada keluargamu, dan jika masih tersisia maka untuk karib kerabatmu. (HR. Muslim, Kitab Az Zakah, Bab Al Ibtida’ bi An Nafaqati bi An Nafsi, hadits No. 997. Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu- juga meriwayatkan bahwa sesungguhnya Nabi r bersabda : Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, dan mulailah dengan orang-orang yang menjadi tangunganmu … (HR. Bukhari, Kitab Az Zakah, Bab Laa Shadaqata illa ‘an Zhahri Ghaniyyin…, hadits No. 1.426.

[7] Lihat Syarah Al Muhadzab 2/20.

 

 

Ustad Nurwan Darmawan, B.A.

Back to top button