Fiqih: Pentingnya Mengenal Lima Hukum (Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram)
Pentingnya Mengenal Lima Hukum dalam Ilmu Fiqih yaitu Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram
Ahkamut Taklif Ada Lima
Pembahasan tentang istilah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram pada asalnya merupakan pembahasan dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih. Lima hal ini diistilahkan dengan ahkamut taklif.
Di dalam kitab “Raudhatun Nazhir”, Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
أحْكامُ التكْلِيْف خَمْسَةٌ: واجِبٌ،و منْدُوْب،و مُباحٌ،و مَكْرُوْهٌ،و مَحْظُوْر
“Ahkamut taklif ada lima : wajib, mandub (sunnah), mubah, makruh dan mahzhur (haram).”
Kemudian Imam Ibnu Qudamah menjelaskan alasan para ulama menetapkan adanya lima hukum ini, yaitu bahwa kandungan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits jika disimpulkan ada beberapa bagian, ada yang bermakna tuntutan untuk melakukan sesuatu, ada tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, dan ada yang berupa pilihan, antara melakukan atau meninggalkan.
Tuntutan untuk melakukan sesuatu ini, jika dirinci lagi : ada tuntutan yang disertai ancaman jika tidak melaksanakannya. Dan ada yang tidak disertai ancaman. Yang disertai ancaman diistilahkan dengan wajib. Sedangkan yang tidak disertai ancaman diistilahkan dengan mandub (sunnah).
Tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, jika dirinci lagi : ada yang disertai ancaman jika melanggarnya. Dan ada yang tidak disertai ancaman. Yang disertai ancaman diistilahkan dengan haram. Sedangkan yang tidak disertai ancaman diistilahkan dengan makruh.
Membantu Memahami Kitab Fiqih
Meskipun, pada asalnya pembahasan ini ada di dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih, kenyataannya di beberapa kitab fiqih kontemporer juga dicantumkan pembahasan ini oleh penulisnya.
Misalnya kitab “Al-Fiqhul Manhaji”, salah satu kitab fiqih kontemporer madzhab Syafi’i. Begitu juga kitab fiqih “Manhajus Salikin”, Syaikh As-Sa’di menyantumkan pembahasan ini di bagian pengantar kitab tersebut.
Ini mengisyaratkan, bahwa untuk mengambil faedah dari kitab fiqih, kita membutuhkan penjelasan tentang istilah-istilah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Prioritas dalam Dakwah dan Pengingkaran Suatu Kesalahan
Pengetahuan tentang lima hukum ini juga sangat membantu seorang juru dakwah dalam proses berdakwah. Terutama, ketika dia hendak menentukan mana yang lebih diprioritaskan dalam dakwahnya. Yaitu, ketika terjadi pertentangan antara sesuatu yang hukumnya sunnah dengan sesuatu yang hukumnya wajib.
Sebuah kesalahan, ketika seorang juru dakwah dihadapkan antara dua pilihan yang harus dipilih, yaitu sesuatu yang hukumnya wajib dan sesuatu yang hukumnya sunnah. Namun, ia lebih mementingkan yang sunnah daripada yang jelas-jelas wajib menurut ulama ahli fiqih.
Begitu juga dalam mengingkari atau menegur. Tentunya, teguran atau pengingkaran terhadap orang yang meninggalkan amalan yang sunnah tidak sekeras teguran kepada orang yang meninggalkan amalan yang wajib.
Pertama : Wajib
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, di dalam kitab “Raudhatun Nazhir” mengatakan, bahwa wajib adalah:
مَا تُوُعِّدَ بِالعِقابِ على تَرْكِهِ
“Perbuatan yang ada ancaman hukumannya karena meninggalkannya.”
Atau menurut pendapat yang lain, wajib adalah:
مَا يُعاقَبُ تَارِكُهُ
“Orang yang meninggalkannya berhak mendapatkan hukuman.”
Yang dimaksud adalah, jika seorang hamba meninggalkannya dengan sengaja, padahal dia mampu melaksanakannya.
Contoh Penggunaan Istilah Wajib:
Di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Wajib bagi orang yang puasa menjauhi dusta, ghibah dan mencela …”
Kedua : Sunnah
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, di dalam kitab “Raudhatun Nazhir” mengatakan, bahwa mandub adalah:
مَا فِي فِعْلِه ثَوَابٌ وَ لَا عِقَابَ فِي تَرْكِهِ
“Perbuatan yang ada pahalanya jika dilakukan, dan tidak ada hukumannya jika ditinggalkan.”
Beberapa Istilah Lain Hukum Sunnah
Ada beberapa ungkapan lain untuk amalan yang hukumnya sunnah, di antaranya adalah mustahab, tathawwu’, naflun dan lain-lain. Semua istilah ini menunjukkan makna yang sama, yaitu amalan tersebut dianjurkan.
Contoh Penggunaan Istilah Sunnah
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitabnya “Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi”, mengatakan:
“Sunnah-sunnah salat ini tidak harus dilakukan ketika salat, akan tetapi, siapa yang melakukan semua atau melakukan sebagiannya, dia mendapat tambahan pahala. Dan siapa yang tidak melakukan semua atau tidak melakukan sebagiannya, dia tidak berdosa, sebagaimana hal ini berlaku untuk semua amalan yang hukumnya sunnah.”
Ketika menjelaskan tentang sutrah, yaitu suatu benda yang kita letakkan di depan kita saat salat yang berfungsi sebagai pembatas, syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Meletakkan sutrah adalah sunnah, bagi orang yang salat sendirian dan bagi seorang imam.” Kemudian syaikh mengatakan lagi, “Dan meletakkan sutrah bukanlah hal yang wajib.”
Dalam pembahasan salat Jumat, syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan:
“Mustahab (dianjurkan) untuk segera pergi ke masjid di Hari Jumat …”
Amalan Sunnah Tidak untuk Diremehkan
Suatu amalan yang hukumnya sunnah tidak bisa disamakan dengan amalan yang wajib dari sisi keharusan melakukannya. Meskipun demikian bukan berarti kita meremehkan amalan sunnah.
Terlebih lagi, amalan yang hukumnya sunnah ini bertingkat-tingkat. Ada amalan sunnah yang terkadang tidak dilakukan Nabi. Ada pula amalan sunnah yang tidak pernah ditinggalkan Nabi. Untuk amalan sunnah yang seperti ini, tentu penekanan yang dilakukan sangat kuat, dan sebisa mungkin kita juga mengamalkannya.
Ketiga : Mubah (Boleh)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata bahwa mubah adalah:
مَا أَذِنَ الله فِيْ فِعْلِه و تَرْكِهِ غَيْر مُقْتَرِنٍ بِذَمّ فَاعِلِهِ و تَارِكِهِ وَ لَا مَدْحِهِ
“Perbuatan yang Allah izinkan dilakukan atau ditinggalkan, tanpa disertai dengan celaan maupun pujian bagi yang melakukan atau meninggalkannya.”
Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, mubah adalah:
“Perbuatan yang tidak berkaitan dengan perintah maupun larangan secara dzatnya. Misalnya adalah makan di malam hari bulan Ramadhan.”
Terkadang sesuatu yang hukumnya mubah, diistilahkan dengan halal. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, di dalam kitab “Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul” mengatakan:
“Terkadang mubah dinamakan dengan halal …”
Keempat : Makruh
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, makruh adalah:
مَا تَرْكُهُ خَيْرٌ مِنْ فِعْلِهِ
“Perbuatan yang mana meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya.”
Contoh Penggunaan Istilah Makruh
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” mengatakan:
“Makruh salat di tempat yang terdapat gambar-gambar …”
Terkadang Sebagian yang Makruh Berubah menjadi Boleh
Sebagai contoh, salat sambil bersandar tembok. Hal ini hukum asalnya makruh. Akan tetapi, jika seseorang bersandar karena badan yang kurang sehat, maka boleh melakukannya.
Syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi” mengatakan:
“Makruh ketika salat : bersandar ke tembok atau yang lain ketika posisi berdiri. Kecuali karena suatu keperluan, karena hal ini bisa menghilangkan kesulitan untuk berdiri. Maka, jika dia melakukannya karena suatu keperluan (sakit atau semisalnya), tidak mengapa salat sambil bersandar.”
Di kitab yang sama, Syaikh mengatakan, bahwa berbincang-bincang setelah salat Isya adalah makruh. Akan tetapi, selanjutnya Syaikh mengatakan:
“Ini jika begadangnya setelah salat Isya tanpa ada faedah sama sekali. Adapun, jika begadangnya karena tujuan yang benar dan keperluan yang bermanfaat, maka tidak mengapa begadang.”
Kelima : Haram
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, bahwa haram adalah kebalikan dari wajib. Sehingga, yang dimaksud dengan haram adalah perbuatan yang jika dilakukan, maka pelakunya mendapat hukuman dari Allah.
Terkadang, sesuatu yang hukumnya haram diistilahkan dengan maksiat. Terkadang juga disebut dengan dosa. Begitu juga, ketika ulama mengatakan tidak boleh, yang dimaksud adalah haram.
Misalnya seperti yang dikatakan oleh syaikh Shalih Al-Fauzan di dalam kitab “Al-Mulakhas Al-Fiqhi”:
“Tidak boleh mengangkat orang yang fasik menjadi imam salat.”
Wallahu a’lam.
Disusun oleh Fajri Nur Setyawan
Artikel Alukhuwah.Com
Sumber:
- Raudhatun Nazhir, karya Imam Ibnu Qudamah.[1]Raudhatun Nazhir, karya Imam Ibnu Qudamah.
- Kasyfus Satir, Syarh Raudhatun Nazhir, karya syaikh Muhammad Shidqi Al-Burnu.[2]Kasyfus Satir, Syarh Raudhatun Nazhir, karya syaikh Muhammad Shidqi Al-Burnu.
- Al-Mulakhash Al-Fiqhi, karya syaikh Shalih Al-Fauzan.[3]Al-Mulakhash Al-Fiqhi, karya syaikh Shalih Al-Fauzan.
- Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, karya syaikh Ibnu ‘Utsaimin.[4]Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul, karya syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
- Al-Hukmu Asy-Syar’i ‘Indal Ushuliyyin.[5]Al-Hukmu Asy-Syar’i ‘Indal Ushuliyyin.