Hazanah Fiqih Shalat ‘Id

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Bulughul Maram menyantumkan bab khusus mengenai shalat ‘id. Disebutkan di dalamnya sekitar 16 hadits. Sebagian berkaitan dengan hari raya. Dan kebanyakannya berkaitan dengan Fiqih shalat ‘id. Berikut ini sebagian dari hadits-hadits tersebut beserta penjelasannya menurut empat mazhab Fiqih.

1. Hukum Shalat ‘Id

Shalat ‘Id yang pertama kali dilakukan Nabi adalah di tahun ke 2 hijriyah. Itu adalah ‘Idul Fitri yang pertama. Puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban di tahun yang sama.

Imam Nawawi mengatakan hukum shalat ‘Id adalah sunnah. Dan menurut ulama yang lain hukumnya fardhu kifayah.

Imam Nawawi berkata :

هِيَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَجَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ

“Shalat ‘id menurut Imam Syafi’i dan mayoritas pengikutnya, dan menurut mayoritas ulama adalah sunnah muakkad.”

Imam Nawawi juga menyebutkan, Imam Abu Hanifah berpendapat shalat ‘Id wajib.

Imam Ibnu Qudamah memilih pendapat yang mengatakan fardhu kifayah. Dalilnya adalah Nabi dan para khalifah setelahnya selalu mengadakan shalat ‘Id. 

Akan tetapi tidak diwajibkan kepada setiap muslim, karena Nabi pernah ditanya tentang shalat yang wajib, menjawab hanya “lima”. Dan selain yang “lima” tersebut adalah shalat sunnah. Demikian yang dikatakan Nabi Muhammad, berdasarkan hadits yang disepakati Imam Bukhari dan Muslim.

Nabi Muhammad pernah tidak melaksanakan shalat ‘Idul Adha berjama’ah ketika di Mina. Disebabkan kesibukan Nabi melaksanakan haji dan membimbing pelaksanaan haji umat Islam ketika itu. Dan ada kemungkinan Nabi Muhammad dan umat Islam saat itu melaksanakan shalat ‘Idul Adha sendiri-sendiri.

Kesimpulan :

Berdasarkan penjelasan di atas, pendapat mayoritas ulama terlihat lebih kuat, yaitu shalat ‘id hukumnya sunnah yang sangat ditekankan ; karena ada hadits yang menjelaskan bahwa shalat yang wajib hanya lima, yaitu shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya dan Subuh.

Karena Nabi Muhammad selalu melakukan shalat ‘Idul Fitri, maka shalat ini bukan sunnah yang biasa, akan tetapi “sunnah muakkadah”. 

Sehingga jika seandainya ada halangan-halangan yang sedikit memberatkan, tidak masalah tidak mengikuti shalat ‘id bersama umat Islam. Jika menghendaki dia tetap bisa shalat ‘id sendirian di rumahnya. Karena shalat ‘id tidak disyaratkan harus berjama’ah. Berbeda dengan shalat Jum’at yang disyaratkan harus berjama’ah.

2. Beberapa Hal yang Disepakati Ulama

Ada beberapa masalah yang disepakati ulama berkaitan dengan shalat ‘Id :

Pertama, ulama sepakat menganjurkan mandi sebelum shalat ‘Id.

Ke dua, ulama sepakat shalat ‘Id tanpa adzan dan tanpa iqamat.

Ke tiga, ulama sepakat shalat ‘Id yang sesuai dengan sunnah Nabi adalah didahulukan sebelum khotbah.

Ke empat, ulama sepakat tidak ada kewajiban membaca surat tertentu setelah surat Al-Fatihah.

3. Waktu Shalat ‘Id dan Qadha’ Shalat ‘Id

وَعَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ، أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا، فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ -وَهَذَا لَفْظُهُ- وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Dari Abu ‘Umair bin Anas, dari bibinya, yang merupakan sahabat Nabi :

“Suatu ketika ada rombongan yang datang dari luar, mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal kemarin. Kemudian Nabi Muhammad memerintah mereka agar membatalkan puasanya. Dan memerintah mereka agar keesokan harinya, di pagi hari menuju ke tanah lapang untuk shalat ‘Id.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dengan sanad shahih)

Abu ‘Umair bin Anas :

Nama asli Abu ‘Umair adalah ‘Abdullah. Dia adalah ‘shighar at-tabi’in’ (tabi’in Yunior). Dia meriwayatkan beberapa hadits dari para sahabat Nabi.

Derajat Hadits :

Hadits ini dianggap tidak valid oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr. Karena menurutnya Abu ‘Umair bin Anas adalah perawi hadits yang ‘majhul’ (tidak diketahui kredibilitasnya). Akan tetapi Al-Hafizh Ibnu Hajar menganggap hadits ini valid, dan sanadnya shahih.

Fiqih Hadits :

A. Waktu Shalat ‘Id

Di dalam hadits ini ada isyarat tentang batas akhir shalat ‘Id, yaitu sebelum masuk waktu Dhuhur.

Menurut Imam Nawawi, boleh melaksanakan shalat ‘Id ketika matahari terbit. Dan jika ditunda sebentar sehingga matahari naik setinggi tombak, itu lebih baik.

Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, yang dimaksud ‘setinggi tombak’ adalah sekitar tujuh hasta, menurut pandangan mata.

Alasan dibolehkan melaksanakannya ketika matahari terbit adalah karena shalat ‘id termasuk shalat ‘dzawatul asbab’, sehingga boleh dilaksanakan ketika waktu terlarang.

Alasan dianjurkan ditunda sebentar sampai matahari naik ; karena menghormati sebagian ulama yang mengatakan tidak boleh dilaksanakan ketika matahari terbit.

Imam Jalaludin Al-Mahalli mengatakan, dahulu Nabi melakukan shalat ‘id ketika matahari telah naik setinggi tombak. 

B. Qadha’ Shalat ‘Id

Di dalam hadits ini juga ada syari’at (tuntunan) mengqadha’ shalat ‘Id. 

Perbedaan Pendapat Ulama :

Ahli Fiqih hanya berbeda pendapat tentang waktu mengqadha’ shalat ‘Id. 

Menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali, waktu mengqadha’ shalat ‘Idul Fitri adalah di hari berikutnya. Tidak boleh mengqadha’ shalat ‘Id di luar waktu shalat ‘Id.

Menurut Mazhab Syafi’i, boleh mengqadha’ shalat ‘Id di semua waktu, tidak harus hari berikutnya. Dalilnya adalah diqiyaskan dengan bolehnya mengqadha shalat sunnah rawatib  di waktu kapan saja.

C. Tempat Shalat ‘Id

Shalat ‘id berbeda dengan shalat-shalat sunnah yang lain karena diikuti umat Islam dalam jumlah yang banyak. Sehingga seringkali masjid tidak mampu menampung seluruh jama’ah. Kecuali jika masjid tersebut berukuran besar. Maka dari itu dahulu Nabi Muhammad melaksanakannya di tanah lapang. Meskipun demikian ada hadits yang menyebutkan Nabi Muhammad pernah melakukannya di masjid. Berikut ini pembahasan terkait tempat shalat ‘id yang dianjurkan.

وَعَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ -وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ- فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata : “Dahulu Rasulullah keluar rumah pada hari raya ‘idul fitri maupun ‘idul adha menuju tanah lapang. Pertama kali yang dimulai adalah shalat ‘id. Kemudian berdiri menghadap jama’ah shalat ‘id. Dan ketika itu mereka masih di barisan masing-masing, kemudian Nabi Muhammad memberi nasehat kepada mereka, dan memberi perintah.” (Muttafaq ‘Alaih)

Fiqih Hadits :

Sebagian ulama berpendapat shalat ‘id sebaiknya dilakukan di tanah lapang, tidak di masjid. Sebagian ulama berpendapat, tempat yang paling baik untuk melakukan shalat ‘id adalah masjid.

Contoh dalil yang menyebutkan bahwa Nabi pernah shalat ‘id di masjid adalah hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ. فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ لَيِّنٍ

484. Dari Abu Hurairah, dia berkata : “Mereka (para sahabat Nabi) pernah kehujanan pada hari raya. Kemudian Nabi Muhammad melakukan shalat ‘id di masjid.” (HR. Abu Dawud, dengan sanad “layyin”)

Penjelasan Sanad Hadits :

Di dalam sanad hadits ini ada dua perawi hadits yang statusnya “majhul”, yaitu tidak diketahui dengan pasti kredibilitasnya. Dan salah satu perawinya dikatakan berstatus “maqbul” oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.

Fiqih Hadits :

Ulama sepakat membolehkan pelaksanaan shalat ‘id di masjid, walaupun tidak hujan. 

Ulama hanya berbeda pendapat, mana yang lebih utama melaksanakan shalat ‘Id ketika tidak hujan, apakah di masjid atau di tanah lapang ?

Mayoritas ulama berpendapat lebih utama dilakukan di tanah lapang. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i menyatakan lebih utama di masjid, jika masjidnya luas. Salah satu alasannya karena para imam umat Islam, terutama di Mekah, mereka selalu shalat ‘id di masjid, yaitu masjidil haram.

Kesimpulannya yang menjadi perbedaan pendapat ulama hanyalah tentang tempat shalat ‘Id yang lebih baik, ketika masjid maupun lapangan tersedia. 

Sehingga kita utamakan kebersamaan dalam masalah ini. Jika seandainya seluruh jama’ah atau sebagian besar sepakat dilaksanakan di masjid, sebaiknya kita ikuti. Dalam keadaan seperti ini kesepakatan jama’ah menjadi jalan tengah dalam menentukan pilihan pendapat ulama yang masing-masing ada dasarnya yang kuat.

D. Tatacara Shalat ‘Id

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -:

«التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ، وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا» أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ، وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنِ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata : Nabi bersabda :

“Jumlah takbir di reka’at pertama pada hari raya ‘Idul Fitri adalah tujuh kali. Dan di reka’at yang akhir lima kali. Sedangkan membaca Al-Fatihah adalah setelah takbir-takbir di dua reka’at tersebut.” (HR. Abu Dawud. Imam Tirmidzi mengutip pendapat Imam Bukhari yang menshahihkan hadits ini)

Kesimpulan Derajat Hadits :

Menurut Syaikh Ash-Shan’ani, semua riwayat yang menjelaskan jumlah takbir di shalat ‘id ada kelemahannya. Akan tetapi semua riwayat yang lemah tersebut saling menguatkan satu sama lain, sehingga kesimpulannya hadits tersebut bisa diamalkan. 

Dan kita temukan di dalam kitab-kitab Fiqih, para ulama mengamalkan hadits ini. Terbukti mereka mengatakan dianjurkan takbir 7 kali di reka’at pertama dan 5 kali di reka’at kedua shalat ‘id.

Fiqih Hadits :

1. Urutan Takbir

Menurut Imam Nawawi takbir tujuh kali di reka’at pertama adalah selain takbiratul ihram. Begitu juga takbir lima kali di reka’at ke dua adalah selain takbir perpindahan dari posisi sujud ke posisi berdiri.

Sehingga urutannya sebagai berikut :

Pertama, takbiratul ihram sekaligus niat shalat ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha.

Ke dua, membaca doa iftitah.

Ke tiga, takbir tujuh kali, dengan mengangkat kedua tangan.

Ke empat, membaca ta’awudz.

Ke lima, membaca Al-Fatihah.

Masuk di reka’at kedua :

Takbir lima kali sebelum membaca Al-Fatihah.

2. Hukum takbir tujuh kali atau lima kali

Imam Nawawi berpendapat takbir-takbir tambahan ini hukumnya sunnah yang tidak perlu sujud sahwi seandainya meninggalkannya.

Jika lupa tidak membaca takbir-takbir tambahan :

Imam Nawawi juga berpendapat jika setelah takbiratul ihram langsung membaca Al-Fatihah, lupa tidak takbir tujuh kali, tidak perlu berhenti membaca Al-Fatihah. Dia lanjutkan membaca Al-Fatihah dan shalatnya sah.

Masalah Tambahan : Dzikir yang Dibaca diantara Takbir-takbir

Menurut Imam Nawawi jarak antara dua takbir adalah sekitar satu ayat yang ukuran panjangnya sedang. Menurut Imam Nawawi di antara takbir-takbir tersebut baik untuk membaca dzikir-dzikir berikut ini :

سُبْحَانَ اللهِ – وَالحَمْدُ للهِ – وَلَا إِلهَ إِلَّا اللهُ – وَاللهُ أَكْبَرُ

Dalil dianjurkannya membaca dzikir-dzikir tertentu di antara takbir-takbir adalah riwayat Ibnu Mas’ud yang dicatat oleh Imam Al-Baihaqi. Dan menurut Imam Jalaludin Al-Mahalli, sanadnya jayyid.

Menurut Imam Ibnu Qudamah di antara takbir-takbir tambahan ini dianjurkan membaca kalimat pujian kepada Allah dan membaca shalawat. Dalilnya adalah praktek dari Ibnu Mas’ud. Dan riwayat ini sanadnya hasan. 

Masalah Tambahan : Dalil Mengangkat Tangan Ketika Membaca Takbir Tambahan 

Menurut Imam Nawawi ketika membaca takbir tambahan tangan diangkat, seperti ketika takbiratul ihram.

Dalilnya adalah riwayat yang derajatnya ‘mursal’, dari kitabnya Imam Al-Baihaqi.

Imam Ibnu Qudamah juga berpendapat disunnahkan mengangkat tangan ketika melakukan takbir-takbir tambahan. 

Ibnu Qudamah berkata :

ويسن أن يرفع يديه في كل تكبيرة، لما روي عن عمر – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أنه كان يرفع يديه مع كل تكبيرة في الجنازة وفي العيد

“Disunnahkan mengangkat kedua tangan di setiap takbir. Karena telah diriwayatkan dari ‘Umar, beliau diketahui mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir di shalat jenazah dan di shalat ‘id.”

Riwayat yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Khathab mengangkat tangan ketika takbir di shalat ‘id adalah riwayat yang tidak valid karena sanadnya tidak bersambung. 

Akan tetapi ada dalil lain yang mendukung pendapat ini. Misalnya dalil qiyas, yaitu dengan menyamakan shalat ‘id dengan shalat wajib dalam masalah mengangkat tangan ketika takbir, dalam posisi berdiri.

Salah satu ulama yang berdalil dengan qiyas adalah Imam Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi Muhammad adalah :

Ketika membaca takbir dalam posisi berdiri, di shalat lima waktu adalah dengan mengangkat kedua tangan. Maka takbir-takbir di shalat ‘id maupun shalat jenazah disamakan dengan ketika shalat lima waktu.

Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, Lc, M.H.

Artikel Alukhuwah.Com

Back to top button