Fiqih: Najis-Najis Menurut Ahli Fiqih
Najis-Najis Menurut Ahli Fiqih
Salah satu syarat sahnya salat adalah dengan bersuci. Dan bersuci mencakup dua hal, yaitu menghilangkan hadas dan najis. Hadas adalah sifat atau kondisi, sedangkan najis adalah zat yang terlihat. Misalnya ada seseorang yang buang air kecil. Maka kondisi dia setelah buang air kecil disebut hadas. Sedangkan air kencingnya disebut najis.
Maka seorang muslim sangat membutuhkan pengetahuan tentang benda-benda najis, untuk kemudian dijauhi dan dihilangkan dari badan, pakaian dan tempat salatnya. Agar salatnya sah dan menghasilkan pahala serta kebaikan lainnya.
Di dalam Fikih Islam, ada benda-benda yang disepakati ulama akan kenajisannya. Dan tidak sedikit yang diperselisihkan, apakah benda tersebut najis atau tidak. Di saat semua sepakat, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci. Sampai ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asal tersebut.
Dasar Hukum Wajibnya Menghilangkan Najis
Dasar hukum wajibnya menghilangkan najis bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Contoh dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah,
و ثيابك فطهّر
“… dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatsir : 4)
Di dalam kitab Al-Mulakhas Al-Fiqhi disebutkan bahwa maksud ayat tersebut adalah “Cucilah pakaianmu menggunakan air.”
Adapun dalil dari hadits, sangat banyak dan beragam. Misalnya hadits tentang perintah Nabi untuk mencuci darah haid yang menempel di pakaian. Begitu juga perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyiramkan air satu ember besar ke atas tanah yang terkena air kencing. Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi perintah untuk menghilangkan najis.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa menghilangkan najis hukumnya wajib. Demikian yang disebutkan oleh Al-Qadhi Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid.
Benda-benda Najis yang Disepakati Kenajisannya
Di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili mengelompokkan benda-benda yang kenajisannya disepakati ulama, misalnya:
- Darah manusia, selain darahnya orang yang mati syahid.
- Kotoran manusia, muntah dan air kencingnya.
- Madzi, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluan ketika syahwat memuncak.
- Wadi, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluan sesaat setelah kencing atau ketika mengangkat beban berat.
- Darah hewan, selain hewan yang hidup di air.
- Daging babi.
- Daging bangkai hewan, selain hewan yang hidup di air.
Dan masih ada benda-benda najis yang lain, akan tetapi sebagiannya diperselisihkan para ulama kenajisannya dan hanya disepakati oleh mayoritas ulama.
Benda-benda Najis yang Diperselisihkan Kenajisannya
1. Air mani manusia.
Air mani manusia termasuk benda yang tidak disepakati akan najisnya. Namun, menurut madzhab Syafi’i, dan para ahli hadits, air mani adalah suci. Bahkan hal ini juga merupakan pendapat beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti ‘Aisyah, ‘Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash dan Ibnu ‘Umar, radhiyallahu ‘anhum.
Sebagaimana hal ini disebutkan di dalam kitab Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar.
Dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, pernah mengerik air mani yang kering di baju Rasulullah, kemudian Rasulullah shalat memakai baju tersebut tanpa dicuci.
Adapun air mani selain manusia, misalnya air mani binatang, ada rinciannya. Jika binatang yang dimaksud adalah seperti anjing atau babi, maka air mani kedua binatang ini adalah najis.
2. Air kencing dan muntahan bayi laki-laki yang masih disusui dan belum makan atau minum selain asi.
Madzhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa benda-benda yang terkena kencing atau muntahan bayi laki-laki yang hanya mengkonsumsi asi, cukup diperciki air di atasnya.
Adapun bayi perempuan, maka benda yang terkena air kencingnya harus dibasuh dengan cara mengalirkan air di atasnya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi, yang derajatnya hasan.
Sedangkan menurut Madzhab Hanafiyah, air kencing bayi laki-laki maupun perempuan adalah najis, yang cara menghilangkan najisnya adalah dengan dicuci.
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqhul Islami merajihkan pendapat Madzhab Syafi’i dan Hanbali, karena dalilnya juga kuat dan bersifat khusus, yaitu dalil yang mengecualikan kencing bayi laki-laki yang masih minum asi, belum minum atau makan makanan yang lain. Cara membersihkannya cukup dengan diperciki air di atasnya.
3. Kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan.
Dalam Fikih Islam, ada hewan yang halal dimakan dan ada yang haram dimakan. Untuk hewan yang haram dimakan, tidak ada keraguan tentang najisnya air kencing maupun kotorannya.
Adapun untuk kotoran binatang yang halal dimakan, ada dua pendapat ulama, sebagian menganggapnya najis dan sebagian menganggapnya suci.
Syaikh Sayyid Sabiq di dalam kitab Fiqhus Sunnah menjelaskan bahwa yang berpendapat sucinya kotoran binatang halal adalah Imam Malik dan Imam Ahmad.
Adapun yang berpendapat najisnya kotoran dan kencing hewan halal adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.
Salah satu dalil ulama yang menganggapnya suci adalah hadits tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sekelompok orang untuk meminum air kencing unta. Hal ini merupakan isyarat kuat akan sucinya air kencing unta.
Namun, Madzhab Syafi’i menjawab, bahwa kejadian ini termasuk kejadian yang jarang, sehingga tidak bisa dijadikan dasar yang kuat. Dan masih ada kemungkinan yang lain, misalnya adalah kemungkinan karena dalam kondisi darurat, sehingga tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa air kencing unta suci. Di mana ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk meminum air kencing unta dalam rangka pengobatan.
Dan masih ada dalil lain sekaligus jawaban dari masing-masing pendapat ini.
Atas dasar ini semua, alangkah baiknya kita tetap membersihkan badan, pakaian maupun tempat yang terkena kotoran atau kencing hewan yang halal dimakan. Dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat ulama di atas.
Selain itu, dalam rangka menjaga kebersihan dan kesehatan. Karena air kencing maupun kotoran hewan-hewan tersebut, selain menimbulkan bau yang mengganggu, di dalamnya juga terdapat bakteri-bakteri yang tentunya bisa membahayakan. Apalagi jika dikaitkan dengan kekhusyukan dan kenyamanan salat.
Kotoran Hewan Halal yang Sulit Dihindari
Dari sekian banyak hewan yang halal dimakan, ada yang menurut ulama ahli fikih sulit dihindari kotorannya, seperti kuda dan burung.
Salah satu murid Imam Abu Hanifah, yang bernama Imam Muhammad bin Hasan, pernah berfatwa bahwa kotoran atau kencing kuda adalah suci, karena beliau melihat orang-orang saat itu sangat sulit menghindari kotoran maupun kencing kuda yang ada di sekitar mereka. Begitu juga dengan kotoran burung, yang sering membuang kotorannya ketika terbang di udara.
4. Bangkai hewan yang hidup di air dan hewan yang tidak mempunyai darah.
Pada asalnya bangkai termasuk benda najis. Akan tetapi, ada beberapa bangkai yang dikecualikan, berdasarkan dalil-dalil yang ada. Misalnya hadits yang mengatakan bahwa air laut itu suci dan bangkai hewannya halal dimakan.
Begitu juga hadits yang mengatakan bahwa ada dua bangkai yang dihalalkan, yaitu bangkai belalang dan bangkai ikan. Dari hadits-hadits ini dan juga dalil lainnya yang menyebutkan tentang bangkai, para ahli Fikih berbeda pendapat.
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqhul Islami, mengatakan,
“Kesimpulannya, bangkai hewan air dan hewan yang tidak mempunyai darah suci menurut para ahli Fiqih, kecuali ulama Madzhab Syafi’iyyah, mereka mengatakan bahwa bangkai hewan yang tidak mempunyai darah adalah najis.”
Beberapa Benda Najis yang Dikecualikan dalam Madzhab Syafi’i
Di dalam salah satu kitab Fikih Madzhab Syafi’i yang bernama Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Syuja’, disebutkan beberapa benda yang pada asalnya najis, akan tetapi karena sangat sulit dihindari, maka kenajisannya dimaklumi atau dimaafkan, sehingga dianggap tidak najis.
Contoh: Hewan-hewan kecil yang tidak ada darah yang keluar ketika salah satu bagian tubuhnya dipotong. Seperti nyamuk, lalat, cicak dan semisalnya.
Jika hewan-hewan ini jatuh ke dalam air dan mati, tidak menyebabkan air tersebut najis. Asalkan air tersebut tidak berubah sifatnya.
Begitu juga kotoran-kotoran ikan, dikecualikan dari najis, asalkan kotoran ikan tersebut tidak sampai mengubah sifat air.
5. Bagian bangkai yang keras yang tidak mengandung darah.
Yang dimaksud adalah benda-benda seperti tanduk, tulang dan gigi. Begitu juga gading gajah dan semua jenis kuku.
Di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa adillatuhu syaikh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, semua benda tersebut najis. Yaitu tanduk, tulang, gigi dari suatu bangkai hewan.
Adapun bulu dari suatu bangkai, menurut Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali adalah suci.
6. Kulit bangkai yang ‘disamak’.
Berikut ini kesimpulan dari penjelasan Al-Qadhi Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid, tentang kulit bangkai,
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa kulit bangkai menjadi suci dan bisa dimanfaatkan jika telah disamak. Keduanya hanya berbeda pendapat, apakah proses penyamakan ini juga bisa mensucikan kulit bangkai dari hewan yang haram atau tidak?
Imam Syafi’i berpendapat bahwa proses penyamakan hanya bisa menyucikan kulit bangkai hewan yang halal. Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan bisa menyucikan juga kulit bangkai hewan yang haram dimakan. Kecuali babi, menurut Imam Abu Hanifah kulit bangkainya tidak bisa disucikan dengan disamak.
7. Najisnya anjing.
Di dalam kitab Subulus Salam, Imam Shan’ani mengatakan, bahwa mayoritas ulama berpendapat, anjing najis secara zatnya. Dalilnya adalah hadits yang berisi perintah untuk membuang air yang ada di sebuah wadah yang dijilati anjing. Sekaligus perintah untuk mencucinya sebanyak tujuh kali bilasan dan salah satunya menggunakan tanah.
Ada ulama yang mengatakan bahwa bagian anjing yang najis adalah mulut dan air liurnya saja.
Akan tetapi melihat kenyataannya, di mana anjing sering menjilati badannya sendiri, maka pendapat mayoritas ulama lebih kuat, yaitu najisnya anjing secara zatnya, bukan sekadar air liurnya.
8. Khamr (minuman yang memabukkan).
Meskipun tidak semua ulama, mayoritas dari ulama menganggap khamr sebagai benda najis. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili di dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu.
Wallahu a’lam.
Penulis Fajri Nur Setyawan, Lc.
Alukhuwah.Com
Sumber:
- Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid[1]Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid
- Kitab Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar[2]Kitab Kifayatul Akhyar Fi Halli Ghayatil Ikhtishar
- Kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Zyuja'[3]Kitab Al-Iqna’ Fi Halli Alfazhi Abi Zyuja’
- Kitab Fiqhus Sunnah[4]Kitab Fiqhus Sunnah
- Kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu[5]Kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu
- Kitab Al-Mulakhas Al-Fiqhi[6]Kitab Al-Mulakhas Al-Fiqhi
- Kitab Subulus Salam Al-Mushil Ila Bulughil Maram[7]Kitab Subulus Salam Al-Mushil Ila Bulughil Maram
Referensi