Fiqih: Air Suci dan Air Najis

Air Suci dan Air Najis Menurut Ahli Fiqih

Kewajiban Bersuci 

Di dalam kitab-kitab Fiqih pembahasan tentang air di tempatkan di awal kitab sebelum pembahasan lainnya, seperti wudhu, mandi wajib, shalat dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena air adalah media yang utama untuk bersuci, menghilangkan najis maupun hadats. Dan bersuci adalah salah satu syarat sahnya shalat.

Di dalam hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa-i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, Nabi ﷺ bersabda :

إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِي الصلاة فَلْيَنْصَرِف و لْيَتَوَضَّأ و لْيُعِد الصلاةَ

“Jika seorang di antara kalian kentut ketika shalat ; dia wajib membatalkan shalatnya, lalu wudhu, lalu mengulangi shalatnya.” [1]Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. Sebagaimana keterangan dari Imam Ibnu Hajar di dalam kitab Bulughul Maram.

Ini adalah diantara contoh dalil akan wajibnya bersuci sebelum shalat. Kemudian di dalam Fiqih Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud bersuci itu adalah menghilangkan hadats dan najis. Hadats besar dihilangkan dengan mandi wajib. Sedangkan hadats kecil dihilangkan dengan wudhu.

Poin-poin Kesepakatan Ulama Tentang Air

Di dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan beberapa poin kesepakatan ulama dalam masalah yang berkaitan dengan air. Hal ini penting kita ketahui karena kesepakatan ulama merupakan dalil, setelah Al-Qur’an dan Hadits.

Berikut ini beberapa poin kesepakatan tersebut:

  • Hukum asal air adalah suci secara dzatnya dan bisa mensucikan yang lainnya.
  • Air yang sudah berubah baunya atau warnanya atau rasanyanya karena benda najis; maka tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Setelah kesepakatan ini, para ulama berbeda pendapat dalam beberapa masalah, misalnya:

  • Masalah pertama : Air yang bercampur dengan benda najis akan tetapi tidak berubah warnanya atau baunya atau rasanya. Apakah air seperti ini boleh digunakan untuk bersuci ?
  • Masalah ke dua : Air yang bercampur dengan benda suci, hingga salah satu sifat air berubah. Misalnya baunya atau warnanya berubah. Apakah air seperti ini boleh digunakan untuk bersuci ?

Masalah Pertama : Air yang Bercampur dengan Benda Najis

Menurut salah satu riwayat dari Imam Malik, air yang bercampur dengan benda najis dan tidak berubah baunya atau sifatnya, masih tetap boleh digunakan untuk bersuci. Sama saja apakah air tersebut jumlahnya banyak atau sedikit.

Adapun menurut Imam Hanifah dan Imam Syafi’i ; ada perinciannya, yaitu :

Jika air yang bercampur dengan benda najis itu jumlahnya sedikit maka air itu dihukumi najis. Adapun jika air tersebut banyak maka air itu suci. Kemudian Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berbeda dalam menentukan batasan berapa liter air dianggap banyak ?

Dalil Imam Syafi’i 

Dalil Imam Syafi’i dalam menentukan batasan air yang dianggap banyak adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan Abu Dawud, Nasa-i, Tirmidzi, Ibnu Majah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:


وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: – إِذَا كَانَ اَلْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ – لَمْ يَنْجُسْ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ

“Dari sahabat Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, “Jika (banyak) air mencapai dua kulah, maka ia tidak membawa najis”–pada lain riwayat ‘tidak menjadi najis’–.”[2]HR Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqallani di dalam kitab Bulughul Maram. 

Meskipun demikian, ada juga yang menganggap hadits ini tidak shahih. Sebagaimana disebutkan oleh syaikh Sayyid Sabiq di dalam kitab Fiqhus Sunnah.

Dua Qullah Berapa Liter ?

Para ulama berbeda pendapat tentang ukuran dua qullah dalam satuan liter. Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, di dalam kitab Tanwirul Masalik, mengatakan bahwa dua qullah adalah sekitar 190 liter.

Jika kita mengambil pendapat ini, maka menurut Imam Syafi’i rahimahullah, jika ada air sebanyak 190 liter atau lebih, kemudian ada benda najis yang masuk ke dalamnya, dan baunya maupun warnanya tidak berubah, maka air tersebut tetap suci. 

Adapun jika air kurang dari 190 liter, dan ada benda najis yang masuk ke dalamnya, walaupun baunya tidak berubah; maka air tersebut menjadi najis. Tidak boleh digunakan untuk bersuci.

Ulama yang lain memandang bahwa yang menjadi tolok ukur suci atau najisnya dalam kondisi ini adalah adanya perubahan pada sifat air. Selama air yang masuk kedalamnya benda najis itu tidak berubah sifatnya maka air tersebut masih suci. 

Jika melihat argumen dan ulama yang berpendapat, tidak berlebihan jika dikatakan dua pendapat ini sama-sama kuatnya.

Barangkali jalan tengahnya adalah sebaiknya jika seandainya ada air di dalam sebuah ember, kemudian ada benda najis yang masuk ke dalamnya, kita tidak gunakan air itu untuk bersuci, meskipun baunya tidak berubah. Dalam rangka berhati-hati dan kita bisa memanfaatkan air itu untuk keperluan yang lain. Terlebih lagi jika persediaan air masih banyak.

Masalah ke dua : Air yang Bercampur dengan Benda Suci

Di dalam kitab Fiqhus Sunnah disebutkan bahwa air yang bercampur dengan benda suci, misalnya sabun atau semisalnya ; air seperti ini suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Selama benda suci yang masuk ke dalam air tersebut tidak banyak, sehingga nama ‘air’ tidak hilang darinya.

Ini adalah pendapat dari Imam Abu Hanifah dan merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalil yang mendukung pendapat ini misalnya hadits tentang perintah Nabi ﷺ untuk memandikan jenazah menggunakan air yang dicampur dengan daun bidara. 

Ketika bercampur daun bidara, tentunya air tersebut menjadi wangi. Sehingga terjadi perubahan pada salah satu sifatnya yaitu baunya. Akan tetapi daun bidara adalah benda yang suci.

Sehingga hadits ini ‘mengisyaratkan’ bahwa Nabi ﷺ menganggap air yang berubah menjadi wangi karena benda suci tetap bisa digunakan untuk bersuci. 

Adapun menurut Imam Syafi’, air seperti ini suci akan tetapi tidak bisa digunakan untuk bersuci. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini karena tidak begitu jelas ; apakah air yang seperti itu masih bisa disebut sebagai air atau tidak ?

Jalan tengahnya adalah dengan melihat kadar benda suci yang masuk ke dalam sebuah air. Jika benda suci tersebut hanya sedikit, dan airnya sangat banyak maka kita bisa tenang menggunakan air itu untuk bersuci, mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Wallahu a’lam

Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, Lc

Artikel Alukhuwah.Com

Sumber dan referensi lainnya

  1. Kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, karya Al-Qadhi Ibnu Rusyd
  2. Kitab Bulughul Maram, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
  3. Kitab Subulus Salam, karya As-Shan’ani
  4. Kitab Al-Akhbar Al-‘Ilmiyyah Minal Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah, karya Imam Abul Hasan Al-Ba’li
  5. Kitab Fiqhus Sunnah, karya syaikh Sayyid Sabiq
  6. Kitab Tanwirul Masalik, karya syaikh Musthafa Dib Al-Bugha
  7. Kitab Manhajus Salikin, karya syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di
  8. Kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya syaikh Wahbah Az-Zuhaili      

Referensi

Referensi
1 Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. Sebagaimana keterangan dari Imam Ibnu Hajar di dalam kitab Bulughul Maram.
2 HR Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban
Back to top button