Siroh: Posisi Bangsa Arab Dan Kaumnya #3

Kelanjutan Kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam

Suatu kabilah dari Yaman (Jurhum Kedua) datang setelah itu. Kemudian mereka bermukim di Mekah setelah mendapatkan izin dari ibu Ismail. Ada yang mengatakan, mereka sudah berada di sana sebelum itu, tepatnya di lembah-lembah di pinggir Kota Mekah.

Adapun riwayat Bukhari menegaskan, bahwa mereka singgah di Mekah setelah kedatangan Ismail dan ibunya, sebelum Ismail menginjak remaja. Mereka sudah biasa melewati lembah Mekah sebelum itu.

Dari waktu ke waktu, Ibrahim datang ke Mekah untuk menjenguk keluarganya. Dalam hal ini tidak diketahui berapa kali kunjungan atau perjalanan yang dilakukannya, hanya saja, menurut beberapa referensi sejarah yang dapat dipercaya, kunjungan itu dilakukan sebanyak empat kali.

Allah ta’ala memperlihatkan Ibrahim dalam mimpinya, seolah-olah dia menyembelih anaknya, Ismail. Maka beliau langsung melaksanakan perintah ini. Allah berfirman,

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111)

“Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus pergi (menghadap) kepada Tuhanku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail).

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, ”Selamat sejahtera bagi Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (Ash-Shaffat : 99 – 111)

Di dalam Kitab Kejadian disebutkan, bahwa umur Ismail selisih tiga belas tahun lebih tua dari Ishaq. Secara tekstual, kisah ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum kelahiran Ishaq, sebab kabar gembira tentang kelahiran Ishaq disampaikan setelah pengupasan kisah ini secara keseluruhan.

Setidak-tidaknya, kisah ini mengandung satu kisah perjalanan sebelum Ismail menginjak remaja. Sedangkan tiga kisah selanjutnya telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara panjang lebar dari Ibnu Abbas secara marfu’, yang intinya, ketika remaja, Ismail belajar bahasa Arab dari kabilah Jurhum, mereka merasa tertarik kepadanya, lalu mereka mengawinkannya dengan salah seorang wanita dari golongan mereka. Dan ketika itu, ibu Ismail sudah meninggal dunia.

Suatu saat, Ibrahim hendak menjenguk keluarga yang ditinggalkannya setelah terjadinya pernikahan tersebut, beliau tidak mendapatkan Ismail, lalu beliau bertanya kepada istrinya mengenai Ismail dan kondisi mereka berdua. Istri Ismail mengeluhkan kehidupan mereka yang melarat.

Maka Ibrahim menitip pesan agar suaminya nanti mengganti palang pintu rumahnya. Setelah diberitahu, Ismail mengerti maksud pesan ayahnya. Maka Ismail menceraikan istrinya itu dan kawin lagi dengan wanita lain, yaitu putri Madhdhadh bin Amr, pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum menurut pendapat kebanyakan sejarawan.

Setelah perkawinan Ismail yang kedua ini, Ibrahim datang lagi, namun tidak bertemu dengan Isma’il, lalu akhirnya kembali ke Palestina setelah beliau menanyakan kepada istrinya tersebut tentang Ismail dan kondisi mereka berdua, istrinya memuji kepada Allah (atas apa yang dianugerahkan kepada mereka berdua).

Kemudian Ibrahim kembali menitipkan pesan lewat istri Ismail, agar Ismail memperkokoh palang pintu rumahnya. Dan dia mengerti apa maksud dari sang ayah.

Pada kedatangan yang ketiga kalinya, Ibrahim bisa bertemu dengan Ismail, yang saat itu sedang meraut anak panahnya di bawah sebuah pohon di dekat Zam-zam. Tatkala melihat kehadiran ayahnya, Ismail berbuat sebagaimana layaknya seorang anak yang lama tidak bersua bapaknya. Begitu pula Ibrahim.

Pertemuan ini terjadi setelah sekian lama yang sangat jarang dijumpai seorang ayah yang penuh rasa kasih sayang dan lemah lembut bisa menahan kesabaran untuk bersua anaknya, begitu pula dengan Ismail, sebagai anak yang berbakti dan shaleh.

Kemudian mereka berdua membangun Ka’bah dan meninggikan pondasinya. Ibrahim pun mengumumkan kepada khalayak agar melakukan haji sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.

Anak Keturunan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam

Dari perkawinannya dengan putri Madhdhadh, Ismail dikaruniai oleh Allah sebanyak dua belas orang anak yang semuanya laki-laki, yaitu: Nabat atau Nabayuth, Qidar, Adba-il, Mubsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hidad, Yatma, Yathur, Nafis dan Qaidaman.

Dari mereka inilah kemudian berkembang menjadi dua belas kabilah, yang semuanya menetap di Mekah untuk beberapa lama. Mata pencaharian mayoritas mereka adalah berdagang dari negeri Yaman ke negeri Syam dan Mesir.

Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar di berbagai penjuru Jazirah, dan bahkan hingga keluar Jazirah. Seiring dengan berjalannya waktu, keadaan mereka tidak lagi terdeteksi, kecuali anak keturunan Nabat dan Qidar.

Peradaban anak keturunan Nabat mengalami kemajuan di bagian utara Hijaz. Mereka mampu mendirikan pemerintahan yang kuat dan menguasai daerah-daerah di sekitarnya, dan menjadikan Al-Bathra’ sebagai ibu kotanya. Tak seorang pun yang mampu melawan mereka hingga datangnya pasukan Romawi, yang berhasil melindas mereka.

Sekelompok peneliti berpendapat, bahwa raja-raja keturunan keluarga besar Ghassan, termasuk juga kaum Anshar dari suku Aus dan Khazraj bukan berasal dari keturunan keluarga besar Qahthan, tetapi mereka adalah dari keturunan keluarga besar Nabat, anak Ismail dan sisa-sisa mereka masih berada di kawasan itu, dan pendapat ini diambil oleh Imam Bukhari.

Sedangkan Imam Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang mengatakan, bahwa anak keturunan keluarga besar Qahthan berasal dari keturunan keluarga besar Nabat.

Adapun anak keturunan Qidar bin Ismail masih menetap di Mekah, beranak pinak di sana hingga menurunkan ’Adnan dan anaknya Ma’ad. Dari dialah orang-orang Arab Adnaniyah menisbatkan nasab mereka. Dan Adnan adalah nenek moyang kedua puluh satu dalam silsilah keturunan Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam.

Disusun Oleh Ahmad Imron Al Fanghony

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi:

Kitab Ar-Rohiq Al-Makhtum, karya Syaikh Shofiyurrahman Mubarokfury rahimahullah ta’ala. Halaman 18–20[1]Kitab Ar-Rohiq Al-Makhtum, karya Syaikh Shofiyurrahman Mubarokfury rahimahullah ta’ala. Halaman 18–20

Referensi

Referensi
1 Kitab Ar-Rohiq Al-Makhtum, karya Syaikh Shofiyurrahman Mubarokfury rahimahullah ta’ala. Halaman 18–20
Back to top button