Qawa’id Fiqhiyyah: Mengamalkan Dua Dalil Sekaligus Lebih Utama Daripada Meninggalkan Salah Satunya Selama Masih Memungkinkan

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan patokan yang harus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Di mana sikap kita ketika menemui kondisi tersebut adalah menjamakkan dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan.

Hal ini dikarenakan dalil-dalil itu datang untuk diamalkan, sehingga meninggalkan substansi hukum dari suatu dalil syar’i tidaklah diperbolehkan kecuali dengan berdasarkan dalil pula. Maka hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut, dan barangsiapa yang menyelisihinya maka dituntut mendatangkan hujjah yang mendukung dakwaannya itu.

Cara Menyikapi Pertentangan Dalil

Perlu kita ketahui bahwa apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya.

Pertama, Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhususkan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Dan jika tidak mungkin dilakukan, maka kita berpindah kepada alternatif.

Kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhir lalu kita menjadikanya sebagai penghapus substansi dalil yang datangnya lebih awal. Apabila alternatif kedua ini tidak memungkinkan juga maka kita menempuh alternatif

Ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat. [1]Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih, di mana tidak ditemukan sarana untuk merajihkan (menguatkan) salah satu dari dua dalil tersebut, maka sikap kita adalah tawaqquf. Namun tidak ada … Continue reading

Contoh Penerapan Kaidah

  1. Dalam sebagian ayat dijelaskan bahwa nabi ﷺ bisa memberikan hidayah. Sebagaimana firman Allah ﷻ:

    وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

    Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura : 52)

    Namun, di ayat lainnya disebutkan bahwa beliau tidak bisa memberikan hidayah. Yaitu dalam firman Allah ﷻ:

    إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

    Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (QS. Al Qashash : 56)

    Untuk menggabungkan kedua ayat tersebut, maka kita katakan bahwa hidayah yang diamaksudkan pada ayat pertama adalah petunjuk untuk mengarahkan manusia kepada jalan kebenaran. Ini adalah perkara yang bisa dilakukan oleh Nabi ﷺ.

    Sedangkan hidayah yang dimaksudkan pada ayat kedua adalah petunjuk dalam arti memberikan taufiq supaya seseorang mau menerima kebenaran. Hidayah jenis ini semata-mata menjadi hak Allah ﷻ, tidak dimiliki oleh nabi ﷺ maupun orang lain. [2]Lihat al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, Hlm. 75.
  2. Disebutkan dalam hadits Busroh binti Shofwan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu. Rasulullah ﷺ bersabda :

    مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

    “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” [3]HR. Abu Dawud no. 181, An-Nasa-i no. 163, At-Tirmidzi no. 82 ia berkata, “Ini hadits hasan shahih.” Ibnu Majah no. 4479. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam … Continue reading

    Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Thalq bin ‘Ali bahwasanya ia bertanya kepada Nabi ﷺ tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika sholat apakah wajib baginya berwudhu, maka Rasulullah ﷺ menjawab :

    لاَ إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ

    “Tidak, sesungguhnya kemaluan itu hanyalah bagian anggota tubuhmu.” [4]HR. Abu Dawud no. 182, At-Tirmidzi no. 85, An-Nasa-i no. 165, Ibnu Majah no. 483. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud 1/334.

    Maka dua dalil tersebut digabungkan dengan penjelasan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu  menyentuh tanpa penghalang [5]Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/278. dan dilakukan dengan syahwat. Adapun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut maka menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu.Dipersyaratkannya menyentuh secara langsung tanpa adanya penghalang berdasarkan hadits Abu Hurairah di mana Rasulullah ﷺ bersabda :

    مَنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إِلَى ذَكَرِهِ، لَيْسَ دُوْنَهَا سِتْرٌ، فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوْءُ

    “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya dengan tangannya, sedangkan antara sentuhan dan kemaluannya tidak dihalangi sesuatu pun, maka wajib baginya berwudhu.” [6]HR. Ahmad 2/333, Ibnu Hibban 1118, Ad_daruquthni 1/147, Al-Baihaqi 2/131. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Abdil Bar, dan An Nawawi. (Lihat as-Syarh al-Mumti’ 1/279).

    Adapun dipersyaratkan adanya syahwat dikarenakan menyentuh kemaluan tanpa syahwat adalah seperti menyentuh tangan, hidung, dan semisalnya yang tentu saja tidak membatalkan wudhu, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Thalq bin ‘Ali di atas. [7]Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/282.

    Maka inilah pendapat yang yang rajih, dikarenakan mengamalakan semua dalil yang ada, tanpa meninggalkan satupun dalil yang berkaitan dengannya, Tanpa adanya naskh ataupun tarjih, dan inilah yang paling utama karena mengkompromikan dalil-dalil yang ada itu lebih utama selama masih memungkinkan.
  3. Pendapat yang rajih adalah bahwa orang-orang kafir itu najis ditinjau dari i’tiqadnya (keyakinannya) bukan dari sisi lahiriyahnya. Hal ini karena menggabungkan firman Allah ﷻ:

    إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

    Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis. (QS. At Taubah : 28)
    Dengan firman Allah ﷻ: 

    وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ 

    Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka. (QS. Al Maa-idah : 5)

    Ayat pertama di atas menunjukkan bahwa orang-orang kafir adalah najis, sedangkan ayat kedua menunjukkan mereka tidaklah najis karena makanan (sembelihan) mereka halal bagi kita, dan wanita-wanita mereka pun boleh untuk dinikahi. Maka dalil yang menunjukkan kenajisan orang-orang kafir dimaknai dengan kenajisan dari sisi keyakinan mereka. Adapun dalil yang menunjukkan ketidak najisan mereka dimaknai dari sisi lahiriyah mereka. Dengan demikian terkumpullah dalil-dalil yang ada tanpa meninggalkan sebagiannya. [8]Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/448.

Demikian pembahasan kaidah ini, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. [9]Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-20.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih, di mana tidak ditemukan sarana untuk merajihkan (menguatkan) salah satu dari dua dalil tersebut, maka sikap kita adalah tawaqquf. Namun tidak ada contoh yang shahih dalam kasus seperti ini. (Lihat al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, Hlm. 77).
2 Lihat al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, Hlm. 75.
3 HR. Abu Dawud no. 181, An-Nasa-i no. 163, At-Tirmidzi no. 82 ia berkata, “Ini hadits hasan shahih.” Ibnu Majah no. 4479. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 1/150.
4 HR. Abu Dawud no. 182, At-Tirmidzi no. 85, An-Nasa-i no. 165, Ibnu Majah no. 483. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud 1/334.
5 Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/278.
6 HR. Ahmad 2/333, Ibnu Hibban 1118, Ad_daruquthni 1/147, Al-Baihaqi 2/131. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Abdil Bar, dan An Nawawi. (Lihat as-Syarh al-Mumti’ 1/279).
7 Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/282.
8 Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, I/448.
9 Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-20.
Back to top button