Qawa’id Fiqhiyyah: Pengantar Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah #1

Pengantar Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah bagian Pertama

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah ﷻ yang telah melimpahkan karunia dan nikmat-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, shahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau dengan baik sampai akhir zaman.

Sebelum memasuki rincian dari kaidah-kaidah fiqih, kita perlu memahami beberapa pengantar dan pendahuluan terkait ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, yaitu tentang definisinya, macam-macamnya, faidah mempelajarinya, dan beberapa pembahasan lainnya, sehingga kita memiliki gambaran umum tentang ilmu ini. Berikut ini uraikan singkat tentang pembahasan-pembahasan tersebut.

Definisi Qawa’id Fiqhiyyah

Istilah Qawa’id Fiqhiyyah terdiri atas dua kata yaitu kata Qawa’id (الْقَوَاعِد) dan kata Fiqhiyyah (الْفِقْهِيَّة). Secara etimologi, kata Qawa’id (الْقَوَاعِد) merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata Qa’idah (الْقَاعِدَة) yang bermakna asas (pondasi), baik pondasi tersebut bersifat konkrit, seperti pondasi rumah, pondasi pagar, dan semisalnya, ataupun pondasi yang bersifat abstrak, seperti pondasi agama, pondasi ilmu, dan semisalnya. Adapun makna Qa’idah (الْقَاعِدَة) secara terminologi adalah “Hukum yang sifatnya universal (menyeluruh) yang bisa diterapkan pada seluruh cabang-cabangnya.” [1]Lihat Al Qawa’id Al Kulliyah wa Ad-Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 11-12.

Adapun kata Fiqhiyyah (الْفِقْهِيَّة) secara bahasa merupakan nisbah (penyandaran) kepada kata Fiqh (الْفِقْه), di mana kata Fiqh secara etimologi bermakna pemahaman, sedangkan secara terminologi bermakna “Ilmu tentang hukum-hukum syar’iyah amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.” [2]Lihat Al ‘Iqd Ats-Tsamin Syarh Manzhumah Ibn ‘Utsaimin fi Ushul Al Fiqh wa Qowa’idihi, Fadhilatu Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, Maktabah Al Imam Az-Dzahabi lin Nasyr wa … Continue reading

Adapun definisi Qawa’id Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) sebagai suatu cabang ilmu adalah “Hukum aghlabiy (dominan) yang darinya diketahuin hukum permasalahan-permasalahan fiqih secara langsung.” [3]Qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabi (dominan) karena adanya pengecualian dari cakupan kaidah-kaidah tersebut, berbeda dengan kaidah ushul fiqih yang bersifat kulliy (menyeluruh) karena tidak adanya … Continue reading Dengan kata lain, Qawa’id Fiqhiyyah adalah “Kalimat-kalimat ringkas yang mengandung hukum fiqih secara umum dan bisa diterapkan pada banyak permasalahan.” [4]Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqoh bil Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, hlm. 23.

Perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqih

Terkadang muncul pertanyaan di benak kita apakah perbedaan antara Qawa’id Fiqhiyyah dengan Ushul Fiqih. Para ulama’ telah menyebutkan beberapa perbedaan antara keduanya. Di antara perbedaanya adalah sebagai berikut [5]Lihat Al Qawa’id Al Khoms Al Kubro wama Tafarro’a ‘anha, Syaikh Dr. Sholih bin Ghonim as-Sadlan, Dar Balansiyah, Cetakan Pertama, 1417 H, hlm. 21.

Pertama: Materi pembahasan Qawa’id Fiqhiyyah adalah perbuatan manusia (mukallaf), misalnya terdapat kaidah

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“tidak boleh memadharati diri sendiri maupun orang lain”,

kaidah tersebut membahas tentang perbuatan manusia, dimana seseorang tidak boleh melakukan perbuatan yang memadhoroti atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Adapun materi dan tema pembahasan dalam Ushul Fiqih adalah dalil-dalil syar’i. Misalnya terdapat kaidah dalam Ushul Fiqih

الْأَمْرُ الْمُجَرَّدُ عَنِ الْقَرَائِنِ يُفِيْدُ الْوُجُوْبَ

“perintah yang terlepas dari qorinah itu menunjukkan kewajiban”,

yaitu perintah dalam dalil-dalil syar’i, baik perintah Allah dalam Al Qur’an maupun perintah Nabi dalam hadits itu menunjukkan wajibnya sesuatu yang diperintahkan.

Kedua: Hukum yang terkandung dalam Qawa’id Fiqhiyyah bersifat aghlabiyyah (dominan) karena terkadang ada pengecualian di dalamnya.

Misalnya kaidah

اْلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

amal perbuatan tergantung dengan niatnya”,

di mana kaidah ini menunjukkan kewajiban niat untuk setiap amalan ibadah, namun realitasnya ada beberapa amalan yang tidak dipersyaratkan niat.[6]Syaikh Dr. Muhammad Shidqi Al Burnu berkata, “Karena niat itu disyari’atkan untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan, maka ibadah yang tidak mungkin menjadi adat dan tidak tersamar … Continue reading

Seperti seseorang yang mewakili orang lain untuk melaksanakan haji sedangkan ia sebelumnya belum pernah melaksanakan haji, maka secara syar’i amalan haji tersebut terhitung sah untuk orang yang mewakili, bukan untuk orang yang diwakili, padahal wakil tadi meniatkan haji itu untuk orang lain, dan tidak meniatkan untuk dirinya sendiri.[7]Lihat Fathu Dzil Jalali Wal Ikram, Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Al Maktabah Al Islamiyyah, Kairo, Cetakan Pertama, 1427 H, 3/353.

Demikian pula puasa sunnah yang tidak dipersyaratkan adanya niat sejak awal waktunya.[8]Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- riwayat Muslim no. 1154. Adapun kaidah-kaidah dalam Ushul Fiqh sifatnya kulliyah (menyeluruh) dan tidak ada pengecualian.

Pembagian Qawa’id Fiqhiyyah

Kaidah-kaidah fiqih dapat dibagi menjadi beberapa macam ditinjau dari beberapa segi. Berikut ini rinciannya secara global.

Qawa’id Fiqhiyyah ditinjau dari cakupannya, terbagi menjadi tiga macam [9]Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 118-125.:

  1. Qawa’id Kubro
    Yaitu kaidah-kaidah yang terbesar dalam fiqih Islam dan cakupannya paling luas, karena masuk dalam seluruh pembahasan fiqih. Kaidah jenis ini terdiri atas lima kaidah [10]Yang masyhur di kalangan ulama’ bahwa kaidah-kaidah yang terbesar ada lima kaidah. Namun sebagian ahlul ‘ilmi menambahkan kaidah yang keenam, yaitu (إِعْمَالُ الْكَلَامِ … Continue reading:
    • اْلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
      “amal perbuatan tergantung dengan niatnya”  
    • الْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِ
      “keyakinan tidak dikalahkan oleh keraguan”
    • الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
      “kesulitan mendatangkan kemudahan”
    • لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
      “tidak boleh memadharati diri sendiri maupun orang lain”
    • الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
      “adat kebiasan dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum”

      Lima kaidah tersebut merupakan kaidah terbesar dalam fiqih Islam, dan cakupannya paling luas karena masuk dalam seluruh pembahasan fiqih. [11]Syaikh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu berkata, “Ditinjau dari cakupan dan keluasannya, qawa’id fiqhiyyah terbagi menjadi tiga tingkatan, yang pertama adalah kaidah-kaidah … Continue reading
  2. Qawa’id Kulliyyah Ghoirul Kubro
    Yaitu kaidah-kaidah yang memiliki cakupan yang luas, masuk dalam banyak pembahasan fiqih, namun jika dibandingkan dengan Qawa’id Kubro maka lebih sempit.[12]Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin ketika menyebutkan kaidah jenis ini berkata, “Macam yang kedua adalah kaidah-kaidah yang mencakup bab-bab pembahasan yang sangat banyak, dan tidak … Continue reading

    Misalnya kaidah

    الْاِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِاْلاِجْتِهَادِ
    “suatu ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lainnya”,

    dan kaidah

    إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ
    “jika berkumpul antara halal dan haram, maka dimenangkan yang haram”. [13]Rincian empat puluh kaidah yang termasuk dalam jenis ini dapat dilhat dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya Imam As-Suyuthi, Cetakan Keempat, Tahun 1418 H/1998 M, Dar al-Kutub al-‘Arabiy, … Continue reading

     

  3. Qawa’id Shughra (Dhowabith)[14]Sebagian ulama’ menyamakan antara istilah “Qawa’id Fiqhiyyah” dan “Dhawabith Fiqhiyyah”, tidak membedakan antara keduanya, di antara mereka adalah Al-Kamal bin Al-Hammam (wafat tahun 861 … Continue reading
    Kaidah jenis ini merupakan tingkatan terendah dari Qawa’id Fiqhiyyah ditinjau dari cakupannya, karena kaidah-kaidah tersebut hanya masuk dalam satu bab pembahasan fiqih saja.[15]Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin ketika menyebutkan jenis kaidah ini berkata, “(Yaitu) kaidah-kaidah yang mencakup permasalahan-permasalahan terkait bab-bab tertentu, atau satu bab … Continue reading

    Misalnya kaidah

    كُلُّ مَيْتَةٍ نَجِسَةٌ إِلاَّ السَّمَكَ وَالْجَرَادَ
    “Setiap bangkai itu najis kecuali ikan dan belalang”.

    Dan kaidah

    كُلُّ مَا حَرُمَ فِي اْلإِحْرَامِ فَفِيْهِ الْكَفَّارَةُ إِلاَّ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ
    “setiap yang diharamkan ketika ihrom maka ada kaffaronya, kecuali akad nikah”.

Qawa’id Fiqhiyyah ditinjau dari keberadaanya disepakati ataukah tidak.
Terbagi menjadi dua macam [16]Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 29-30.:

  1. Kaidah-kaidah yang disepakati oleh seluruh ulama’ dari seluruh madzhab secara umum, misalnya lima kaidah terbesar (Qawaid Kubro) sebagaimana yang telah lewat. [17]Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin menjelaskan bahwa kaidah-kaidah fiqih yang disepakati terbagi menjadi dua macam, pertama : kaidah-kaidah yang disepakati oleh seluruh madzhab fiqih, … Continue reading
  2. Kaidah-kaidah yang diperselisihkan oleh para ulama’. [18]Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin menjelaskan bahwa kaidah-kaidah fiqih yang diperselisihkan terbagi menjadi dua macam, pertama : kaidah-kaidah yang diperselisihkan oleh para ulama’ … Continue reading Adakalanya perselisihan tersebut kuat dan adakalanya ringan. Misalnya kaidah (الرُّخَصُ لاَ تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي) “rukhshoh tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”, dan kaidah (الْعِبْرَةُ فِي الْعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لاَ بِاْلأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي) “yang menjadi ukuran dalam akad adalah niat dan maknanya, bukan sekedar lafadz dan bentuknya”.

Demikian pengantar Qawa’id Fiqhiyyah bagian pertama. Sampai bertemu kembali dipembahasan Pengantar Qawa’id Fiqhiyyah bagian Kedua. Wallahu ta’ala a’lam bi shawwab. 

Penulis:
Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.

Referensi

Referensi
1 Lihat Al Qawa’id Al Kulliyah wa Ad-Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 11-12.
2 Lihat Al ‘Iqd Ats-Tsamin Syarh Manzhumah Ibn ‘Utsaimin fi Ushul Al Fiqh wa Qowa’idihi, Fadhilatu Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, Maktabah Al Imam Az-Dzahabi lin Nasyr wa At-Tauzi’, Kuwait, Cetakan Kedua, 1436 H, Hlm. 15-16.
3 Qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabi (dominan) karena adanya pengecualian dari cakupan kaidah-kaidah tersebut, berbeda dengan kaidah ushul fiqih yang bersifat kulliy (menyeluruh) karena tidak adanya pengecualian. Demikian pula qawa’id fiqhiyyah bisa digunakan untuk mengetahui hukum permasalahan fiqih secara langsung, seperti kaidah “barang siapa merusakkan suatu barang maka wajib untuk menggantinya” yang langsung menunjukkan wajibnya mengganti barang yang dirusakkan. Berbeda halnya dengan kaidah ushul fiqih yang harus ada perantara untuk mengetahui hukum suatu permasalahan, misalnya kaidah dalam ushul fiqih “larangan menunjukkan keharaman”, tidak bisa langsung digunakan untuk menentukan hukum haramnya perzinaan, namun harus ada perantara dalil, yaitu dengan kita katakan bahwa, perzinaan hukumnya haram karena Allah ﷻ berfirman (وَلَا تَقْرَبُوْا الزِّنَا) dan kata (لَاتَقْرَبُوْا) adalah larangan, sedangkan larangan menunjukkan keharaman. (Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 135-142).
4 Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqoh bil Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, hlm. 23.
5 Lihat Al Qawa’id Al Khoms Al Kubro wama Tafarro’a ‘anha, Syaikh Dr. Sholih bin Ghonim as-Sadlan, Dar Balansiyah, Cetakan Pertama, 1417 H, hlm. 21.
6 Syaikh Dr. Muhammad Shidqi Al Burnu berkata, “Karena niat itu disyari’atkan untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan, maka ibadah yang tidak mungkin menjadi adat dan tidak tersamar dengan ibadah lainnya karena berupa ibadah yang murni, tidak dipersyaratkan niat padanya. Misalnya adalah iman kepada Allah Ta’ala, mengenal-Nya, takut kepada-Nya, mengharap kepada-Nya, dan juga niat itu sendiri. Demikian pula membaca Al Qur’an dan dzikir, karena ibadah-ibadah tersebut telah terbedakan dengan bentuknya sendiri. Kecuali jika membaca Al Qur’an itu berupa nadzar maka dipersyaratkan niat untuk membedakan antara yang wajib dengan selainnya. Dan ada beberapa perkara yang diperselisihkan tentang dipersyaratkannya niat ataukah tidak, seperti adzan, khutbah jum’at, memandikan jenazah, dan berangkat untuk shalat.” (Al Wajiz fi Idhohi Qawa’id Al Fiqh Al Kulliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Keempat, 1416 H, hlm. 127).
7 Lihat Fathu Dzil Jalali Wal Ikram, Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Al Maktabah Al Islamiyyah, Kairo, Cetakan Pertama, 1427 H, 3/353.
8 Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- riwayat Muslim no. 1154.
9 Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 118-125.
10 Yang masyhur di kalangan ulama’ bahwa kaidah-kaidah yang terbesar ada lima kaidah. Namun sebagian ahlul ‘ilmi menambahkan kaidah yang keenam, yaitu (إِعْمَالُ الْكَلَامِ أَوْلَى مِنْ إِهْمَالِهِ) “memfungsikan ucapan lebih utama daripada meniadakannya.” (Lihat Al ‘Iqd Ats-Tsamin Syarh Manzhumah Ibn ‘Utsaimin fi Ushul Al Fiqh wa Qowa’idihi, Fadhilatu Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, Maktabah Al Imam Az-Dzahabi lin Nasyr wa At-Tauzi’, Kuwait, Cetakan Kedua, 1436 H, Hlm. 24).
11 Syaikh Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu berkata, “Ditinjau dari cakupan dan keluasannya, qawa’id fiqhiyyah terbagi menjadi tiga tingkatan, yang pertama adalah kaidah-kaidah terbesar yang cakupannya sangat luas dan meliputi sangat banyak permasalahan, tercakup di bawahnya itu sebagian besar bab fiqih dan permasalahannya, dan juga perbuatan mukallaf, jika tidak seluruhnya.” (Al Wajiz fi Idhohi Qawa’id Al Fiqh Al Kulliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Keempat, 1416 H, hlm. 26).
12 Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin ketika menyebutkan kaidah jenis ini berkata, “Macam yang kedua adalah kaidah-kaidah yang mencakup bab-bab pembahasan yang sangat banyak, dan tidak terbatas dengan bab tertentu, akan tetapi lebih sempit daripada lima kaidah terbesar. As-Suyuthi (wafat tahun 911 H) dan Ibnu Nujaim (wafat tahun 970 H) telah mengistilahkannya dengan sebutan “kaidah-kaidah menyeluruh yang tercabang darinya berbagai contoh permasalahan yang tak terhitung”, As-Suyuthi menyebutkannya sejumlah empat puluh kaidah, sedangkan Ibnu Nujaim hanya menyebutkan sembilan belas kaidah.” (Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 119).
13 Rincian empat puluh kaidah yang termasuk dalam jenis ini dapat dilhat dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya Imam As-Suyuthi, Cetakan Keempat, Tahun 1418 H/1998 M, Dar al-Kutub al-‘Arabiy, Beirut, Hlm. 101-162
14 Sebagian ulama’ menyamakan antara istilah “Qawa’id Fiqhiyyah” dan “Dhawabith Fiqhiyyah”, tidak membedakan antara keduanya, di antara mereka adalah Al-Kamal bin Al-Hammam (wafat tahun 861 H) dalam kitab At-Tahrir, dan Abdul Ghaniy An-Nablusiy (wafat tahun 1143 H) dalam kitab Kasyful Khathair ‘an Al-Asybah wa An-Nazhair. Dan sebagian ulama’ membedakan antara keduanya, di antaranya Al-Imam Az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H) dalam kitab Tasynif Al-Masami’, dan Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat tahun 911 H) dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazha-ir. (Lihat Al Mufasshol fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Dar At-Tadmuriyyah, Riyadh, Cetakan Kedua, 1431 H, Hlm. 56-57).
15 Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin ketika menyebutkan jenis kaidah ini berkata, “(Yaitu) kaidah-kaidah yang mencakup permasalahan-permasalahan terkait bab-bab tertentu, atau satu bab tertentu dalam pembahasan fiqih.” Ibnu as-Subki (wafat tahun 771 H) telah mengistilahkannya dengan nama “kaidah-kaidah khusus”, yang bermakna dhobith.” (Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 123).
16 Lihat Al Mumti’ fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Kedua, 1428 H, Hlm. 29-30.
17 Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin menjelaskan bahwa kaidah-kaidah fiqih yang disepakati terbagi menjadi dua macam, pertama : kaidah-kaidah yang disepakati oleh seluruh madzhab fiqih, yaitu lima kaidah terbesar sebagaimana telah berlalu penjelasannya, kedua : kaidah-kaidah yang disepakati oleh sebagian besar madzhab fiqih, seperti sembilan belas kaidah yang disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Nujaim di macam yang kedua bagian pertama dari kitab beliau Al-Asybah wa An-Nazhair, beliau memilih sembilan belas kaidah tersebut dari empat puluh kaidah yang disebutkan oleh Al-Imam As-Suyuthi di bagian kedua kitab beliau Al-Asybah wa An-Nazhair. (Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 125).
18 Syaikh Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin menjelaskan bahwa kaidah-kaidah fiqih yang diperselisihkan terbagi menjadi dua macam, pertama : kaidah-kaidah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dari berbagai madzhab, di antaranya adalah dua puluh satu kaidah, yaitu sisa dari empat puluh kaidah yang disebutkan oleh Al-Imam As-Suyuthi di bagian kedua kitab beliau Al-Asybah wa An-Nazhair setelah dikurangi sembilan belas kaidah yang dipilih oleh Al-Imam Ibnu Nujaim dalam kitab beliau Al-Asybah wa An-Nazhair, karena dua puluh satu kaidah tersebut disepakati dalam madzhab Syafi’iyyah tetapi diperselisihkan oleh para ulama’ dari madzhab lainnya, kedua : kaidah-kaidah yang diperselisihkan oleh para ulama’ dalam satu madzhab tertentu, umumnya kaidah jenis ini diungkapkan dengan bentuk pertanyaan, misalnya adalah dua puluh kaidah yang disebutkan oleh Al-Imam As-Suyuthi di bagian ketiga kitab beliau Al-Asybah wa An-Nazhair. (Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, Cetakan Pertama, 1418 H, Hlm. 125-126)
Back to top button