Kualitas Iman Orangtua dan Masa Depan Anak
Selalu Berusaha Meningkatkan Kualitas Iman
Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa iman kita bisa bertambah. Contohnya adalah firman Allah ta’ala :
وَإِذا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زادَتْهُ هذِهِ إِيماناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزادَتْهُمْ إِيماناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Apabila diturunkan suatu surah, di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini?” Adapun (bagi) orang-orang yang beriman, (surah yang turun) ini pasti menambah imannya dan mereka merasa gembira.” (At-Taubah : 124)
Ini adalah rangkaian ayat terakhir di surat At-Taubah yang membahas orang-orang munafik di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu orang-orang yang sebenarnya tidak beriman akan tetapi memperlihatkan seolah-olah beriman.
Dijelaskan di dalam ayat ini bahwa surat-surat Al-Qur’an bisa menambah iman. Surat-surat Al-Qur’an bisa menambah iman karena di dalamnya ada berita-berita dan ajaran-ajaran yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang-orang beriman. [1]Aisarut Tafasir, (Mesir : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2014) Dengan mempercayai berita-berita Al-Qur’an dan mempraktekkan ajaran-ajarannya maka iman semakin kuat. [2]As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Kuwait : Jam’iyyatu Ihya’ At-Turats, 2003)
Tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an adanya ayat-ayat dengan kalimat yang tegas tentang kemungkinan berkurangnya iman. Menurut sebagian ulama ayat-ayat tentang peningkatan iman itulah yang menjadi dasar adanya keadaan yang sebaliknya yaitu berkurangnya iman. Sebagai contohnya Imam Bukhari, salah satu ahli hadits terkenal di dalam salah satu bab yang berjudul “Bertambah dan Berkurangnya Iman”. Jika kita perhatikan ternyata di dalam bab tersebut Imam Bukhari menyantumkan ayat-ayat yang menegaskan bahwa iman bisa bertambah.
Sehingga kesimpulannya semua dalil yang menyebutkan iman bisa bertambah maka itu adalah dalil tentang kemungkinan berkurangnya iman dengan sebab-sebab tertentu. [3]‘Abdurrazzaq Al-Badr, Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, (Riyadh : Kunuz Isybiliya, 2006)
Sebenarnya realita juga menunjukkan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Karena ulama mengatakan bahwa iman mencakup keyakinan di dalam hati, ucapan melalui lisan dan perbuatan anggota badan. Sedangkan kenyataannya tidak sama antara orang beriman yang satu dengan yang lain dalam hal keyakinan dan amalan. Ini membuktikan bahwa iman bisa berkurang dan bertambah [4]As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Kuwait : Jam’iyyatu Ihya’ At-Turats, 2003).
Maka dari itu kita dituntut agar selalu meningkatkan kualitas iman dan mewaspadai segala sesuatu yang bisa mengurangi kualitas iman atau bahkan merusak iman.
Imam Ahmad pernah berkata :“Iman adalah ucapan dan perbuatan. Bisa bertambah dan bisa berkurang. Ketika engkau melakukan kebaikan, iman akan bertambah dan ketika engkau menyia-nyiakan kebaikan, iman akan berkurang. [5]‘Abdurrazzaq Al-Badr, Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi, (Riyadh : Maktabah Daril Minhaj, 1443 H)”
Tugas Memperhatikan Masa Depan Anak
Salah satu ajaran Islam yang harus diperhatikan dan dipahami oleh kedua orang tua adalah perintah mempersiapkan masa depan anak. Sehingga dia hidup di dalam kebahagiaan dan kesejahteraan. Tidak berlebihan jika mempersiapkan masa depan anak dikatakan sebagai bagian dari kewajiban hamba Allah yang telah berstatus sebagai ‘orang tua’.
Salah satu dasar dari kesimpulan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Sa’d bin Abi Waqash berikut ini :
إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
“Sesungguhnya jika Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan tercukupi itu jauh lebih baik dari pada Engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan, sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Muslim)
Ini adalah pesan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada salah seorang sahabatnya yang sangat kaya, yang bernama Sa’d bin Abi Waqash. Selain kaya raya dia juga hanya mempunyai satu ahli waris, yaitu satu anak perempuan.
Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya saat dia jatuh sakit. Di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia menyampaikan rencananya yang ingin bersedekah menggunakan dua per tiga hartanya. Seketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Kemudian dia menurunkan jumlah sedekahnya hingga sepertiga harta saja. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya dan menyampaikan bahwa sepertiga harta merupakan ukuran yang banyak. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar memperhatikan kesejahteraan ahli warisnya. Dan salah satu ahli waris adalah anak. Sehingga hadits ini adalah salah satu dasar hukum wajibnya memperhatikan masa depan anak.
Kualitas Iman Orang Tua Bermanfaat Untuk Masa Depan Anak
Di surat Al-Kahfi ada satu ayat yang di dalamnya terdapat pelajaran tentang pengaruh kualitas iman orang tua terhadap masa depan anak. Yaitu firman Allah ta’ala :
وَأَمَّا الْجِدارُ فَكانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُما وَكانَ أَبُوهُما صالِحاً فَأَرادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغا أَشُدَّهُما وَيَسْتَخْرِجا كَنزَهُما رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَما فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْراً
“Adapun dinding (rumah) itu adalah milik dua anak yatim di kota itu dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sedangkan ayah mereka adalah orang saleh. Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Aku tidak melakukannya berdasarkan kemauanku (sendiri). Itulah makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.” (Al-Kahfi : 82)
Ini adalah salah satu ayat dari rangkaian ayat-ayat tentang kisah Nabi Musa dan Khidr. Ketika itu Allah memerintah Nabi Musa berguru kepada Khidr. Singkat cerita Khidr tiba-tiba membenahi tembok bangunan di sebuah perkampungan tanpa meminta bayaran sama sekali. Padahal sebelumya penduduk kampung tersebut bersikap tidak baik kepada mereka berdua.
Kemudian Nabi Musa bertanya kepada Khidr tentang hikmah di balik keputusannya, yang membelas keburukan dengan kebaikan. Kemudian Khidr menjelaskan bahwa di bawah tembok tersebut ada harta dua anak yatim yang sengaja disimpan oleh bapak mereka ketika masih hidup. Allah ingin ketika dua anak yatim tersebut telah dewasa, mereka berdua bisa menemukan dan mengambilnya. Ini semua adalah perintah Allah kepada Khidr yang tidak diketahui oleh Nabi Musa.
Para ahli tafsir mengatakan bahwa di dalam ayat ini ada pelajaran penting tentang pengaruh kualitas iman orang tua terhadap kebaikan anak di masa depan.
Salah satu ahli tafsir terkenal yang mengatakan itu adalah Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Beliau mengatakan :
فَفِيهِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الله تعالى يَحْفَظُ الصَّالِحَ فِي نَفْسِهِ وَفِي وَلَدِهِ وَإِنْ بَعُدُوا عَنْهُ
“Di dalam ayat ini ada petunjuk bahwa Allah akan menjaga orang yang baik (orang shalih) ; mulai dari menjaga dirinya dan anak-anaknya, meskipun mereka jauh darinya.” [6]Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 2006)
Orang ‘shalih’ adalah orang yang imannya berkualitas. Yang selalu memperhatikan keadaan imannya. Berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas keimanan-nya.
Dalil lainnya yang menjelaskan kesimpulan di atas adalah sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
احفظ الله يحفظك
“Jagalah Allah pasti Allah akan menjagamu.” (HR. Tirmidzi)
Ini adalah potongan dari hadits yang cukup panjang yang berisi nasehat-nasehat iman yang ketika itu disampaikan kepada Ibnu ‘Abbas yang masih kecil.
Ada dua kalimat yang menjadi perhatian kita. Yang pertama kalimat “jagalah Allah”. Menurut Imam Ibnu Rajab, menjaga Allah adalah :
Tidak melanggar aturan Allah.
Menunaikan hak Allah.
Melaksanakan perintah-perintah Allah.
Meninggalkan apa saja yang dilarang Allah.
Yang ke dua kalimat “Allah akan menjagamu”. Menurut Imam Ibnu Rajab yang dimaksud Allah menjaga kita adalah Allah menjamin kebaikan urusan dunia dan urusan agama kita.
Contoh kebaikan urusan dunia adalah :
Allah akan menjaga fisik kita.
Allah akan menjaga keluarga kita.
Allah akan menjaga anak-anak kita.
Allah akan menjaga harta kita.
Adapun yang dimaksud penjagaan Allah terhadap urusan agama kita adalah diselamatkannya kita dari hal-hal yang menyesatkan. [7]Ibnu Rajab, Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, (Riyadh : Dar Ibn Al-Jauzi, 1442 H)
Masa Depan Akherat
Salah satu pondasi keimanan yang wajib diyakini adalah kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian, yang disebut dengan kehidupan ‘akherat’. Dan berbicara tentang masa depan, maka kehidupan akherat adalah masa depan yang sesungguhnya.
Karena rahmat Allah yang sangat luas, seorang anak bisa mendapatkan manfaat dari keimanan orang tuanya yang berkualitas di kehidupan akherat. Kesimpulan ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمانٍ أَلْحَقْنا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَما أَلَتْناهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِما كَسَبَ رَهِينٌ
“Orang-orang yang beriman dan anak cucunya mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan mengumpulkan anak cucunya itu dengan mereka (di dalam surga). Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur : 21)
Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud ayat ini adalah anak yang kualitas imannya di bawah orangtuanya, di akherat nanti akan digabungkan ke dalam surga orang tuanya. Dengan tanpa mengurangi kenikmatan surga yang disediakan untuk orang tuanya. [8]As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Kuwait : Jam’iyyatu Ihya’ At-Turats, 2003)
Sehingga ayat ini sebagai penguat kesimpulan bahwa kualitas iman kedua orang tua sangat bermanfaat bagi masa depan anak. Maka dari itu hendaknya hal ini menjadi motivasi bagi kita selaku orang tua untuk selalu meningkatkan kualitas iman dan mempertahankan iman hingga akhir hayat kita.
Ayat ini juga sebagai penguat jiwa orang tua sehingga tidak menyerah ketika dia mendapati anaknya yang belum menuruti keinginan baik orangtua. Dia tidak akan berhenti berharap kepada Allah dan terus meningkatkan iman. Dengan harapan kelak anaknya disatukan dengannya di surga. Dia juga tidak akan berbuat aniaya terhadap anaknya ketika terpaksa harus memberi teguran keras kepada anaknya.
Wallahu a’lam
Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, Lc, M.H.
Artikel Ilmiah Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Aisarut Tafasir, (Mesir : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2014) |
---|---|
2, 4, 8 | As-Sa’di, Taisirul Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, (Kuwait : Jam’iyyatu Ihya’ At-Turats, 2003) |
3 | ‘Abdurrazzaq Al-Badr, Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu, (Riyadh : Kunuz Isybiliya, 2006) |
5 | ‘Abdurrazzaq Al-Badr, Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi, (Riyadh : Maktabah Daril Minhaj, 1443 H) |
6 | Al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Beirut : Muassasah Ar-Risalah, 2006) |
7 | Ibnu Rajab, Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, (Riyadh : Dar Ibn Al-Jauzi, 1442 H) |