Ilmu Waris: Alokasi Penggunaan Harta Peninggalan
Penggunaan harta yang ditinggalkan mayit diarahkan untuk memenuhi lima alokasi dengan penerapan skala prioritas. Setelah alokasi pertama terpenuhi, barulah digunakan untuk memenuhi alokasi kedua, setelah itu yang ketiga, dan seterusnya. Sebagaimana rincian berikut ini :
1. Biaya pengurusan jenazah.
Harta peninggalan digunakan untuk membiayai pengurusan jenazah orang yang wafat, yaitu biaya untuk memandikannya (jika memang perlu pembiayaan), membeli kain kafan, upah bagi yang menyiapkan liang kubur, dan semisalnya. Pembiayaan untuk hal tersebut diambil dari harta peninggalan orang yang wafat, inilah alokasi pembiayaan yang paling didahulukan, karena statusnya seperti kebutuhan pokok bagi orang yang masih hidup.
2. Hutang yang terkait langsung dengan materi harta peninggalan.
Misalnya jika orang yang wafat memiliki hutang dengan jaminan barang tertentu, maka harta peninggalannya digunakan untuk melunasi hutang tersebut. [1]Menurut madzhab Hanabilah dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanafiyah bahwa biaya pengurusan jenazah lebih didahulukan daripada selainnya, karena menutup aurat seseorang wajib ketika ia masih … Continue reading
3. Hutang yang tidak terkait langsung dengan materi harta peninggalan.
Misalnya hutang tanpa ada jaminan, baik hutang tersebut berkaitan dengan hak Allah ta’ala seperti zakat yang belum dibayarkan, kaffarah yang belum ditunaikan, nadzar yang belum dilaksanakan, haji wajib yang belum dilaksanakan, ataupun hutang yang berkaitan dengan hak sesama manusia seperti pembelian yang belum dilunasi pembayarannya, upah pekerja yang belum diserahkan, dan semisalnya. [2]Hutang yang terkait langsung dengan materi harta warisan lebih diprioritaskan daripada hutang yang tidak terkait langsung dengan materi warisan karena itu sesuai dengan kondisi ketika seseorang masih … Continue reading
4. Wasiat.
Apabila orang yang wafat memiliki wasiat maka harta peninggalannya digunakan untuk menunaikan wasiat tersebut, dengan syarat jumlah harta yang diwasiatkan tidak melebihi sepertiga dan bukan untuk ahli warisnya. Misalnya sebelum wafat ia berwasiat supaya sebagian hartanya disalurkan untuk wakaf atau semisalnya. [3]Apabila wasiatnya melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan maka yang wajib ditunaikan hanya sepertinganya saja, kecuali jika seluruh ahli waris menyetujuinya. Dan jika wasiat itu diberikan … Continue reading
5. Hak ahli waris.
Apabila alokasi-alokasi di atas semuanya telah dipenuhi, maka barulah sisanya dibagikan kepada ahli waris sesuai kadar bagian masing masing. Dimulai dari ashabul furudh (ahli waris yang mendapatkan jatah bagian tertentu) lalu sisanya diberikan kepada ashobah (penerima sisa harta). [4]Misalnya apabila seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya. Ketika wafat ia meninggalkan harta senilai Rp. 80.000.000. Jika pengurusan jenazahnya menghabiskan biaya Rp. 10.000.000, dan untuk … Continue reading
Wallahu a’lam.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | Menurut madzhab Hanabilah dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanafiyah bahwa biaya pengurusan jenazah lebih didahulukan daripada selainnya, karena menutup aurat seseorang wajib ketika ia masih hidup, demikian pula setelah wafatnya. Sedangkan pendapat lain dalam madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, dan Syafi’iyah bahwa hutang yang terkait langsung dengan materi harta warisan lebih didahulukan daripada biaya pengurusan jenazah, karena hutang itu telah terkait dengan harta sebelum menjadi warisan. (Al-Fiqh Al-Muyassar Qism Fiqh Al-Usrah 5/227) |
---|---|
2 | Hutang yang terkait langsung dengan materi harta warisan lebih diprioritaskan daripada hutang yang tidak terkait langsung dengan materi warisan karena itu sesuai dengan kondisi ketika seseorang masih hidup. Yaitu, jika seseorang memiliki hutang dengan jaminan, kemudian ia bangkrut, maka barang yang jadi jaminan diprioritaskan untuk melunasi hutang kepada si pemberi hutang itu, karena orang yang berhutang telah berkomitmen untuk membayar hutangnya dengan sarana barang yang dijadikan jaminan ketika tidak memungkinkan melunasinya dengan harta yang lain. Ini berbeda dengan hutang tanpa jaminan yang tidak ada bentuk komitmen seperti itu. Demikian pula kondisinya jika seseorang wafat dan masih memiliki tanggungan hutang. (Al-Faraidh, Hal. 11). |
3 | Apabila wasiatnya melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan maka yang wajib ditunaikan hanya sepertinganya saja, kecuali jika seluruh ahli waris menyetujuinya. Dan jika wasiat itu diberikan untuk salah satu ahli waris, maka tidak sah wasiatnya, kecuali jika seluruh ahli waris menyetujuinya. (Al-Mukhtashar fi Al-Mu’amalat hal. 276, dan Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau’ Al-Kitab wa As-Sunnah Hal. 273). |
4 | Misalnya apabila seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya. Ketika wafat ia meninggalkan harta senilai Rp. 80.000.000. Jika pengurusan jenazahnya menghabiskan biaya Rp. 10.000.000, dan untuk melunasi hutangnya diambil sejumlah Rp. 10.000.000, sisanya sejumlah Rp. 60.000.000. Maka sepertiga harta yang dikeluarkan untuk wasiat dihitung dari Rp. 60.000.000 tersebut, yaitu sejumlah Rp. 20.000.000. Setelah itu barulah sisa harta senilai Rp. 40.000.000 dibagikan kepada ahli warisnya. |