Maqashid Syari’ah di dalam Pembagian Harta Warisan 

Maqashid Syari’ah di dalam Pembagian Harta Warisan 

Tidak diragukan lagi di dalam setiap ajaran Islam terkandung tujuan kebaikan yang diinginkan Allah. Tujuan kebaikan ini oleh ulama kita kemudian diistilahkan dengan maqashid syari’ah. Tujuan syari’at secara umum adalah mewujudkan kebaikan dalam kehidupan dan menghilangkan keburukan. Sebagian ahli tafsir menjelaskan maqashid syari’ah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang pembagian harta warisan.

Makna Maqashid Syari’ah

Istilah Maqashid Syari’ah di dalam bahasa Arab merupakan gabungan dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Kata maqashid di dalam bahasa Arab merupakan bentuk tunggal dari kata maqshad. Dan kata maqshad di dalam bahasa Arab mempunyai banyak makna diantaranya adalah sandaran, mengarah, jalan yang lurus, keadilan. Sedangkan kata syari’ah di dalam bahasa Arab maknanya adalah agama, ajaran, atau tuntunan. Sedangkan menurut istilah kata syari’ah adalah hukum-hukum yang Allah ajarkan kepada para hamba melalui perantara para Nabi.

Dalam perkembangannya istilah maqashid syari’ah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Dan para ahli Ushul Fiqih telah memberikan definisi untuk ilmu maqashid syari’ah. Di antara definisi yang baik adalah makna-makna, hikmah-hikmah, atau yang semisalnya, yang diperhatikan oleh Allah dalam menetapkan syari’at secara umum maupun khusus dalam rangka mewujudkan kebaikan untuk para hamba. 

Kemudian maqashid syari’ah yang merupakan hikmah yang diinginkan Allah di dalam syari’atnya ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu maqashid syari’ah umum dan maqashid syari’ah khusus. Maqashid syari’ah umum ada lima yaitu menjaga keyakinan, menjaga nyawa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga harta. Adapun maqashid syari’ah khusus adalah hikmah-hikmah yang terkandung di setiap ajaran Islam. Misalnya hikmah-hikmah yang ada di dalam hukum berkaitan dengan transaksi keuangan, atau masalah kekeluargaan, atau masalah hukum waris. 

Definisi Ilmu Waris dan Keutamaannya

Dalam perkembangannya pembagian warisan ini menjadi sebuah ilmu tersendiri. Ilmu waris menurut istilah ulama disebut dengan ‘Ilmu Fara-idh’. Salah satu definisi ilmu waris adalah :

عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لَا يَرِثُ ومِقْدَارُ مَا لِكُلِّ وَارِثٍ

“Ilmu yang dengannya diketahui ; siapa yang mendapat warisan dan yang tidak mendapat warisan, dan besarnya bagian setiap ahli waris.”

Keutamaan mempelajari Ilmu waris sangat besar. Pertama karena syari’at pembagian harta warisan ini perinciannya dijelaskan langsung oleh Allah melalui firman-firman Nya. Allah tidak mewakilkan penjelasan ini kepada Rasul. Berbeda dengan syari’at yang lain, misalnya shalat. Tata cara shalat Allah memerintah Nabi untuk menjelaskannya. Olehkarena itu tidak kita temukan di dalam Al-Qur’an penjelasan rinci mengenai tata cara shalat. Sedangkan di Al-Qur’an kita temukan penjelasan rinci tentang pembagian harta warisan.

Ke dua, ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mempelajari ilmu waris. Salah satunya adalah hadits riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni :

تعلموا الفرائض وعلموها فإنها نصف العلم وهو ينسى وهو أول شيء ينزع من أمتي

“Pelajarilah ilmu waris dan ajarkanlah ; sesungguhnya ilmu waris adalah setengah dari ilmu, dan sering dilupakan. Dan ilmu waris ini adalah yang pertama kali dicabut dari umatku.”

Ada beberapa pendapat tentang apa yang dimaksud bahwa ilmu waris merupakan setengah dari ilmu. Ada yang mengatakan karena kondisi manusia ada dua ; kondisi ketika masih hidup dan kondisi ketika sudah meninggal. Sedangkan ilmu waris mengatur kondisi seseorang setelah dia meninggal.

Perbandingan Pembagian Warisan di Zaman Jahiliyah dan Islam

Di zaman jahiliyah harta peninggalan dari orang yang meninggal ; jatuh ke tangan anak laki-lakinya yang paling besar. Jika tidak ada anak maka harta peninggalan tersebut jatuh ke tangan saudara laki-laki kandungnya atau pamannya. Sehingga di zaman jahiliyah mereka tidak memberi bagian warisan kepada anak yang masih kecil dan wanita.

Adapun menurut syari’at Islam ; wanita diberi hak mendapatkan harta warisan. Dan hak anak yang masih kecil dilindungi. Maka dari itu syari’at pembagian harta warisan dalam ajaran Islam mempunyai beberapa keistimewaan ;

Pertama, merupakan syari’at yang adil dan kasih sayang.

Ke dua, memperkuat ikatan persaudaraan.

Ke tiga, melindungi hak kepemilikan terhadap harta.

Allah berfirman :

لِلرِّجَالِ ‌نَصِيبٌ ‌مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ ‌نَصِيبٌ ‌مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisaa : 7)

Rangkuman Semua Ayat Al-Qur’an yang Membahas Warisan

Ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang bagian warisan secara detail semuanya ada di dalam surat An-Nisaa’, yaitu mulai dari ayat ke 12, 13 dan 176. Dan jika disimpulkan ayat-ayat tersebut terbagi menjadi tiga :

Pertama, ayat-ayat yang membahas tentang bagian warisan anak dan orangtua.

Ke dua, ayat-ayat yang membahas tentang bagian warisan suami-istri dan saudara se-ibu.

Ke tiga, ayat-ayat yang membahas tentang bagian warisan saudara kandung dan saudara se-bapak. 

Hak Waris Anak

Di dalam surat An-Nisaa’ ayat 12 Allah mendahulukan penjelasan hak waris anak sebelum ahli waris yang lain. Menurut Imam Abu Sa’ud hikmah dari hal ini adalah karena anak merupakan keluarga yang terdekat dari si mayit, dan terbanyak dari sisi jumlah yang masih hidup dari ahli waris.

Sedangkan menurut Syaikh Wahbah Zuhaili, hikmah didahulukannya penjelasan harta warisan anak adalah karena kondisi anak yang lebih lemah dibandingkan dengan ahli waris selain mereka. Mereka_selain anak_kemungkinan mendapatkan hak dari yang lain. Dan mereka sanggup bekerja mencari penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. 

Bagian Warisan Laki-laki Dua Kali Bagian Perempuan

Di dalam ayat ke 12 dari surat An-Nisaa’ Allah menegaskan bahwa bagian warisan anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Atau dengan kata lain bagian anak perempuan setengah dari bagian warisan anak laki-laki. 

Syaikh Wahbah Zuhaili juga menyebutkan bahwa hikmah dari ketetapan ini adalah karena anak laki-laki di masa depan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Misalnya bertanggungjawab memberi nafkah, bekerja, dan memberi mahar untuk istrinya ketika menikah. Sedangkan anak perempuan ketika dewasa tidak ada kewajiban-kewajiban seperti itu. 

Apa yang disebutkan Syaikh Wahbah Az-Zuhaili ini sesuai dengan firman Allah di ayat yang lain dalam surat yang sama.

Allah berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah mengeluarkan sebagian dari hartanya.” (An-Nisaa : 34)

Di dalam ayat ini ada penjelasan bahwa suami adalah penanggung jawab atau pemimpin istri. Begitu juga ada isyarat bahwa sebab suami mendapatkan tugas kepemimpinan ini adalah karena kelebihan yang diberikan Allah kepada kaum lelaki. Sebab yang lain adalah karena suami telah mengeluarkan hartanya.

Yang menarik dari ayat ini adalah Allah tidak menyebutkan apa saja yang menjadi obyek atau sasaran dari harta suami. Menurut kaidah bahasa Arab hal ini memberi faedah umum atau luasnya cakupan. Sehingga di dalam ayat ini ada isyarat akan besarnya tanggung jawab suami berkaitan dengan harta yang dimilikinya. Karena suami sejak awal menikah harus memberi mahar untuk istrinya. Setelah menikah harus menafkahi istrinya. Bahkan terkadang menafkahi kerabatnya yang tidak mampu. Demikian rangkuman dari penjelasan syaikh As-Sa’di di dalam kitab tafsirnya.

Hukum ini tidak berubah sekalipun kondisi yang terjadi sebaliknya. Misalnya seiring berkembangnya zaman istri bekerja sedangkan suami tidak bekerja. Karena menurut Fiqih Islam dalam keadaan seperti ini tanggung jawab menafkahi istri tidak hilang dari diri suami. Nafkah untuk istrinya menjadi hutang yang harus dilunasi oleh suaminya ketika mampu. Karena nafkah untuk istri diwajibkan kepada suami yang mampu maupun tidak mampu. 

Syaikh Muhammad ‘Ali As-Shabuni di dalam kitabnya Al-Mawarits Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah ; memberikan keterangan tambahan tentang hikmah dilebihkannya warisan anak laki-laki yaitu karena kebutuhan hidup perempuan semestinya telah tercukupi sehingga kebutuhannya terhadap harta lebih kecil dibandingkan kebutuhan harta anak laki-laki. Hal ini karena yang menafkahi seorang perempuan dalam hidupnya adalah anak laki-lakinya, atau ayahnya, atau saudara laki-lakinya atau kerabat-kerabatnya yang lain.

Hak Waris Orangtua

Setelah menjelaskan secara rinci tentang bagian warisan anak, selanjutnya Allah menjelaskan bagian warisan orangtua. Yaitu ketika yang meninggal tersebut mempunyai anak maka bagian warisan bapak dan ibunya adalah seperenam. Sedangkan ketika yang meninggal tidak mempunyai anak maka bagian ibu adalah sepertiga.

Dengan pembagian ini kita bisa memahami dua hal penting :

Pertama, dalam kondisi mayit mempunyai anak berarti bagian kedua orangtua si mayit adalah sama yaitu seperenam.

Ke dua, bagian warisan bapak dan ibu si mayit lebih sedikit dari bagian warisan anak si mayit. Karena anaknya mengambil sisa setelah warisan diberikan kepada bapak dan ibu masing-masing seperenam.

Maqashid syari’ah dari bagian yang sama untuk orangtua, menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili adalah untuk menyamakan kadar penghormatan kepada kedua orangtua si mayit. Sedangkan hikmah kenapa bagian warisan anak si mayit lebih besar ; ini karena beberapa hal di antaranya anak si mayit nantinya membutuhkan banyak biaya hidup. Sedangkan dari sisi kedua orangtua si mayit adalah karena kebutuhan keduanya terhadap harta di bawah kebutuhan anak si mayit.

Inilah sebagian maqashid syari’ah atau hikmah yang terkandung di dalam syari’at pembagian harta warisan, terutama warisan untuk anak dan orangtua. Yang membuktikan bahwa di dalam setiap ketetapan Allah pasti ada hikmah yang diinginkan. Di dalam syari’at Allah ada keadilan dan kasih sayang.

Sumber :

  1. Irsyadul ‘Aqlis Salim Ila Mazaya Al-Qur’an Al-Karim, karya Imam Abu Sa’ud.
  2. At-Tafsir Al-Munir, karya syaikh Wahbah Zuhaili.
  3. Taisirul Karimir Rahman, karya syaikh As-Sa’di.
  4. At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, karya syaikh Shalih Al-Fauzan.
  5. Al-Mawarits Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, karya Syaikh Muhammad ‘Ali As-Shabuni.
  6. Kitab Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah Wa ’Alaqatuha Bil Adillati Asy-Syar’iyyah, Muhammad Sa’id Alyubi.
  7. Kitab Madkhal Ila Maqashid Asy-Syari’ah, karya syaikh Ahmad Ar-Raisuni

Disusun oleh Ustadz Fajri Nur Setyawan, Lc

Artikel Alukhuwah.Com

Back to top button