Qawa’id Fiqhiyyah: Tidak Boleh Membahayakan Diri Sendiri dan Orang Lain

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan tentang haramnya mendatangkan madharat (bahaya) kepada seorang muslim, baik madharat tersebut bersifat lahiriah maupun maknawiah, baik berkaitan dengan agama, jiwa, akal, harta, keturunan, maupun kehormatannya. [1]Lihat Al Mufasshol fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Dar At-Tadmuriyyah, Riyadh, Cetakan Kedua, 1431 H, hlm. 333.

Maka secara garis besar kaidah ini mengandung substansi larangan melakukan perbuatan yang menimbulkan madharat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika madharat  itu belum terjadi maka wajib untuk diantisispasi sehingga ke depan tidak terjadi. Dan jika madharat itu telah terjadi maka wajib untuk dihilangkan dan dihapus sisa-sisanya. [2]Lihat Al Qowa’id Al Kulliyah wa Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 165.

Dalil Kaidah

Kaidah yang mulia ini sesuai dengan lafadz sabda Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, dan selainnya dari Ibnu Abbas rahimahullah, di mana Nabi ﷺ bersabda :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh memadharati diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2341, Thabrani dalam Al Kabir no. 11806, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– dalam Shahih Al Jami’ no. 7517.) [3]HR. Ibnu Majah no. 2341, Thabrani dalam Al Kabir no. 11806, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– dalam Shahih Al Jami’ no. 7517.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa melakukan perbuatan yang membahayakan telah dilarang di dalam syari’at. Maka tidak halal bagi seorang muslim untuk memunculkan perkara yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan saudaranya sesama muslim, dengan perkataan atau perbuatan tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika dilakukan kepada orang yang wajib dipergauli dengan ihsan, seperti isteri, karib kerabat, tetangga, dan semisalnya. [4]Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin … Continue reading

Batasan Penerapan Kaidah

Perlu kita fahami bahwa madharat yang diharamkan dalam syari’at adalah madharat yang ditimbulkan dengan tanpa haq. Adapun madharat yang muncul dengan cara yang haq maka itu tidak diharamkan. Oleh karena itu, seseorang yang melanggar batasan-batasan Allah ﷻ diberi hukuman meskipun di dalamnya terdapat madharat bagi pelakunya. Seperti hukuman cambuk bagi peminum khamr, potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pezina, dan semisalnya. Tidak diragukan bahwa hukuman-hukuman tersebut memberikan madharat bagi mereka, akan tetapi ketika madharat tersebut muncul dengan cara yang haq dan sesuai dengan ketentuan syari’at, maka itu tidaklah haram bahkan termasuk perkara yang disyari’atkan. [5]Lihat al-Qawa’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawabith al-Fiqhiyyah karya Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, hlm. 172.

Batasan Penerapan Kaidah

Para ulama telah menyebutkan contoh-contoh aplikatif dari kaidah yang mulia ini. Di antaranya adalah sebagai berikut [6]Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin … Continue reading:

  1. Seseorang dilarang menggunakan barang miliknya jika hal itu menimbulkan gangguan dan bahaya bagi tetangganya. Meskipun ia mempunyai hak milik secara penuh terhadap barang tersebut, namun dalam pemanfaatannya haruslah diperhatikan supaya tidak memadharatkan, mengganggu, ataupun merugikan orang lain. [7]Lihat at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hlm. 99-100.
  2. Tidak diperbolehkan mengadakan gangguan di jalanan kaum muslimin, di pasar-pasar, ataupun di tempat-tempat kaum muslimin yang lain.  Baik gangguan itu berupa kayu atau batu yang menggangu perjalanan, atau lobang galian yang bisa membahayakan, atau bentuk gangguan lainnya. Karena semuanya itu bisa menimbulkan madharat bagi kaum muslimin.
  3. Di antara bentuk madharat yang paling besar adalah jika seorang suami menimbulkan madharat kepada isterinya dan menjadikannya merasa sempit dengan tujuan supaya si isteri minta untuk diceraikan, sehingga si suami bisa mengambil harta dari si istri sebagai konsekuensi permintaan cerainya. Ini termasuk perbuatan menimbulkan madharat yang paling besar. Allah ﷻ berfirman :

    وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
    “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”. (QS. Ath Thalaaq : 6)

    Dan Allah ﷻ berfirman :

    وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
    Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.”  (QS. Al Baqarah : 231)
  4. Masing-masing pihak dari pasangan suami isteri yang telah bercerai dilarang menimbulkan madharat salah satunya kepada yang lain berkaitan dengan anak mereka berdua. Misalnya pihak ibu menyerahkan bayi itu kepada pihak ayah untuk menimpakan kemudharatan terhadap pihak ayah karena diharuskan memeliharanya. Atau pihak ayah merampas anak dari tangan ibunya dengan tujuan menyengsarakan si ibu [8]Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Hlm. 104..
    Sebagaimana firman Allah ﷻ :

    لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
    Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. (QS. Al Baqarah : 233)
  5. Larangan menimbulkan madharat dalam akad utang piutang, baik dari sisi orang yang berhutang, pemberi hutang, penulis akad, ataupun saksinya. Misalnya si penulis akad menuntut upah yang terlalu tinggi yang memberatkan kepada pelaku akad, atau jika saksi tidak mau memberikan kesaksiannya. [9]Ibid, hlm. 119.
    Sebagaimana firman Allah ﷻ :

    وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ
    Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. (QS. Al Baqarah : 282)
  6. Seseorang yang mewariskan hartanya dilarang merugikan kepada ahli warisnya.  Misalnya ia berwasiat melebihi dari sepertiga hartanya sekedar untuk memadharati ahli warisnya, atau mengakui punya hutang yang sebenarnya tidak ia lakukan. [10]Lihat Tafsir Al Madinah Al Munawwarah, Maktabah Al Maimanah Al Madaniyyah, Al Madinah Al Munawwaarah, Cetakan Kedua, 1441 H, Hlm 262.
    Dan Allah ﷻ berfirman :

    مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
    Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (QS. An Nisaa’ : 12)

Kemudian, ketika seseorang dilarang menimbulkan madharat kepada dirinya sendiri maupun kepada sesama muslim, maka sebaliknya ia diperintahkan untuk memunculkan ihsan dalam setiap amalan yang ia kerjakan.

Allah ﷻ berfirman:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Baqarah : 195)

Dan Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsan (kebaikan) dalam segala hal. Maka jika kamu membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh. Dan jika kamu menyembelih, maka berbuat baiklah dalam menyembelih, hendalah ia tajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim no. 1955) [11] HR. Muslim no. 1955

Dalam hadits ini Nabi ﷺ memerintahkan untuk berbuat ihsan, sampai dalam perkara menghilangkan nyawa. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi setiap muslim untuk senantiasa memperhatikan konsep ihsan dalam setiap aktivitas yang ia kerjakan. 

Wallahu a’lam bisshowab.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Lihat Al Mufasshol fi Al Qowa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Ya’qub bin Abdil Wahhab Al Bahisin, Dar At-Tadmuriyyah, Riyadh, Cetakan Kedua, 1431 H, hlm. 333.
2 Lihat Al Qowa’id Al Kulliyah wa Dhowabith Al Fiqhiyyah, Prof. Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, Dar An-Nafais, ‘Amman, Cetakan Kedua, 1428 H, hlm. 165.
3 HR. Ibnu Majah no. 2341, Thabrani dalam Al Kabir no. 11806, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– dalam Shahih Al Jami’ no. 7517.
4 Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 64.
5 Lihat al-Qawa’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawabith al-Fiqhiyyah karya Dr. Muhammad ‘Utsman Syabir, hlm. 172.
6 Lihat al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 64-65.
7 Lihat at-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Hlm. 99-100.
8 Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Hlm. 104.
9 Ibid, hlm. 119.
10 Lihat Tafsir Al Madinah Al Munawwarah, Maktabah Al Maimanah Al Madaniyyah, Al Madinah Al Munawwaarah, Cetakan Kedua, 1441 H, Hlm 262.
11  HR. Muslim no. 1955
Back to top button