Aqidah: Isra’ Mi’raj dan Sejarah Shalat Menurut Imam Qurthubi

Al-Qur’an dan Peristiwa Isra’ Mi’raj

Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam dan berkaitan dengan kewajiban shalat adalah peristiwa yang dikenal dengan Isra’ Mi’raj. Dasar dari peristiwa ini sangat kuat yaitu Al-Qur’an. Didukung hadits-hadits dan keterangan sejarah para ahli sejarah Islam.

Salah satu ayat yang mengisyaratkan peristiwa ini adalah surat Al-Isra’ ayat pertama :

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بارَكْنا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آياتِنا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnyaagar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Isra’ : 1)

Selain surat Al-Isra’, yang mengisyaratkan peristiwa besar ini adalah beberapa ayat di dalam surat An-Najm. Yaitu firman Allah :

مَا كَذَبَ الْفُؤادُ مَا رَأى(11) أَفَتُمارُونَهُ عَلى مَا يَرى(12) وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرى(13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهى(14) عِنْدَها جَنَّةُ الْمَأْوى(15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشى(16) مَا زاغَ الْبَصَرُ وَما طَغى(17) لَقَدْ رَأى مِنْ آياتِ رَبِّهِ الْكُبْرى (18)

“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Apakah kamu (kaum musyrik Makkah) hendak membantahnya (Nabi Muhammad) tentang apa yang dilihatnya itu (Jibril)? Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Nabi Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya. Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak menyimpang dan tidak melampaui (apa yang dilihatnya). Sungguh, dia benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat besar.” (QS. An-Najm : 11-18)

Salah satu ahli tafsir Islam yang sangat terkenal adalah Imam Qurthubi. Dengan kitab tafsirnya yang diberi nama ‘Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an’. Di dalam kitab tafsirnya ini Imam Qurthubi menjelaskan cukup panjang lebar hal-hal penting berkaitan dengan Isra’ Mi’raj ketika menafsirkan ayat-ayat di atas.

Dan berikut ini rangkuman yang terpenting dari penjelasan Imam Qurthubi :

Waktu Terjadinya Isra’ Mi’raj

Imam Qurthubi mengatakan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Dari sekian banyak pendapat yang disebutkan hampir semuanya memberikan keterangan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Hanya keterangan dari ahli sejarah bernama Ibnu Syihab yang berbeda. Dalam satu riwayat dinyatakan menurut Ibnu Syihab peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi 7 tahun setelah Nabi mulai berdakwah, yaitu di Mekah. Sedangkan riwayat lain yang juga dari Ibnu Syihab menyatakan terjadinya sebelum perang Badar.

Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyimpulkan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah, dan ini yang dibenarkan mayoritas ulama. Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata :

وَهَذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ الْإِسْرَاءَ كَانَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِأَعْوَامٍ

“Ini memberi petunjuk kepadamu bahwa Isra’ Mi’raj terjadi beberapa tahun sebelum hijrah …”

Tentang Masjidil Aqsha 

Sebagaimana diketahui berdasarkan Al-Qur’an bahwa perjalanan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj dimulai dari Masjidil Haram yang ada di Mekah menuju ke Masjidil Aqsha yang ada di Palestina. Imam Qurthubi menjelaskan beberapa hal tentang Masjidil Aqsha. Salah satunya adalah sebab penamaannya.

Imam Qurthubi berkata :

سُمِّيَ الْأَقْصَى لِبُعْدِ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَكَانَ أَبْعَدَ مَسْجِدٍ عَنْ أَهْلِ مكة في الأرض

“Dinamakan “Al-Aqsha” karena “jauhnya” jarak antara masjid tersebut dengan Masjidil Haram. Dan masjidil Aqsha merupakan masjid terjauh di bumi menurut penduduk Mekah …”

Dari sisi bahasa Arab apa yang dikatakan Imam Qurthubi bisa dibenarkan. Karena di dalam bahasa Arab kata yang tersusun dari huruf ‘qaf’, ‘sha’, dan ‘alif’ mempunyai makna “jauh”. Sehingga masjidil Aqsha ditinjau dari bahasa Arab maknanya masjid yang paling jauh, terutama bagi penduduk Mekah.

Selain itu Imam Qurthubi juga menjelaskan bahwa yang pertama mendirikannya adalah Nabi Sulaiman. Dan Masjidil Aqsha didirikan 40 tahun setelah Masjidil Haram.

Imam Qurthubi berkata :

أَنَّ أَوَّلَ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِي الْأَرْضِ الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ، ثُمَّ الْمَسْجِدُ الْأَقْصَى. وَأَنَّ بَيْنَهُمَا أَرْبَعِينَ عَامًا مِنْ حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ، وَبِنَاءُ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمَسْجِدَ الْأَقْصَى وَدُعَاؤُهُ لَهُ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو

“Sesungguhnya masjid pertama kali yang didirikan di bumi adalah masjidil Haram, kemudian masjid Al-Aqsha. Dan jarak antara keduanya adalah 40 tahun, berdasarkan hadits dari Abu Dzar. Dan berkaitan dengan pendirinya, yaitu Nabi Sulaiman, serta doanya untuk masjid Al-Aqsha, berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr …”

Jasad dan Ruh Nabi Muhammad Mengalami Isra’ Mi’raj 

Ulama berbeda pendapat ; apakah yang mengalami Isra’ Mi’raj hanya ruh Nabi Muhammad atau ruh sekaligus jasadnya. Imam Qurthubi mengatakan :

وَذَهَبَ مُعْظَمُ السَّلَفِ وَالْمُسْلِمِينَ إِلَى أَنَّهُ كَانَ إِسْرَاءً بِالْجَسَدِ وَفِي الْيَقَظَةِ، وَأَنَّهُ رَكِبَ الْبُرَاقَ بِمَكَّةَ، وَوَصَلَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَصَلَّى فِيهِ ثُمَّ أُسْرِيَ بِجَسَدِهِ

“Mayoritas ulama salaf dan umat Islam berpendapat bahwa peristiwa Isra’ terjadi pada jasad Nabi dan dalam keadaan sadar (tidak dalam mimpi). Nabi mengendarai Buraq dari Mekah sampai di Baitul Maqdis, kemudian shalat di dalamnya dan diperjalankan …”

Setelah Malam Isra’ Mi’raj

Sebagaimana diketahui bahwa hal terpenting dari Isra’ Mi’raj adalah kewajiban shalat lima waktu yang merupakan salah satu rukun Islam. Imam Qurthubi memberi keterangan bahwa yang mengajari Nabi tentang waktu shalat dan caranya adalah malaikat Jibril.

Imam Qurthubi mengatakan :

وَلَمْ يَخْتَلِفُوا فِي أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ هَبَطَ صَبِيحَةَ لَيْلَةِ الْإِسْرَاءِ عِنْدَ الزَّوَالِ، فَعَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ وَمَوَاقِيتَهَا

“Ulama tidak berbeda pendapat ; bahwa malaikat Jibril ‘alaihis salam turun ke bumi, keesokan harinya setelah Isra’ Mi’raj tepatnya ketika ‘zawal’ (waktu shalat Dhuhur). Lalu malaikat Jibril mengajari Nabi cara shalat dan waktu-waktunya.”

Bentuk Shalat yang Pertama Kali Diwajibkan Setelah Isra’ Mi’raj 

Imam Qurthubi mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang seperti apa shalat yang pertama kali diwajibkan setelah Isra’ Mi’raj. Salah satu riwayat yang dicantumkan Imam Qurthubi adalah riwayat yang terkenal dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah, beliau berkata :

أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ

“Shalat yang pertama kali diwajibkan adalah 2 reka’at …”

Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah shalat yang diwajibkan di malam Isra’ Mi’raj ada lima. Yaitu shalat yang kita kenal selama ini ; Dhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya’, dan Subuh. Shalat Dhuhur, Ashar dan Maghrib pada awalnya 2 reka’at. Sedangkan shalat Subuh sejak awal 2 reka’at dan shalat Maghrib sejak awal 3 reka’at.

Al-Hafizh Ibnu Hajar, di dalam kitabnya Fathul Bari, memberi keterangan sebagai berikut :

“Pendapat yang menurutku kuat dan dengan ini dalil-dalil bisa disatukan ; bahwa shalat lima waktu diwajibkan di malam Isra’ Mi’raj dengan 2 reka’at-2 reka’at, kecuali shalat Maghrib. Kemudian setelah Nabi hijrah jumlah reka’at shalat ditambah kecuali shalat Subuh.

Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dari jalur As-Sya’bi, dari Masruq, dari ‘Aisyah, dia berkata : “Shalat ketika tidak safar maupun ketika safar ; diwajibkan dengan jumlah 2 reka’at-2 reka’at. Ketika Rasulullah sampai di Madinah dan beliau semakin tenang ; jumlah reka’at shalat ketika tidak safar ditambah 2 reka’at-2 reka’at. Untuk shalat Subuh tidak berubah karena panjangnya bacaan surat-suratnya dan begitu juga shalat Maghrib tidak berubah …”

Referensi :

  • Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, karya Imam Qurthubi. Penerbit : Massasah Ar-Risalah, Beirut, 2006. Tahqiq : Dr. ‘Abdullah At-Turki
  • Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar. Penerbit : Dar Ar-Risalah Al-‘Alamiyah, Beirut, 2013.

Disusun oleh Ustadz Fajri Nur Setyawan, Lc

Artikel Alukhuwah.Com

Back to top button