Qawa’id Fiqhiyyah: Niat Lebih Utama Daripada Amalan

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan tentang keberkahan niat dan nilai pahala yang besar di dalamnya. Karena sesungguhnya semata-mata niat yang baik termasuk kategori peribadahan. Dan ibadah merupakan perkara yang diberi pahala oleh Allah ﷻ. 

Di antara hal yang menyebabkan bertambahnya timbangan amal kebaikan dan naiknya derajat seseorang di akhirat adalah niat yang shalih. Barangsiapa yang berniat dengan niat yang baik maka ia akan mendapatkan pahala meskipun tidak diiringi dengan amalan dikarenakan adanya perkara yang menghalangi terwujudnya niat tersebut. Dan apabila niat yang baik itu disertai dengan perwujudan amalan maka ia akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala atas kebaikan niatnya dan pahala menggerakkan anggota badan untuk mengerjakan kebaikan tersebut. Maka niat yang baik akan mengantarkan seorang hamba pada kedudukan yang tinggi, suatu kedudukan yang tidak bisa dicapai dengan amalannya.

Dalil yang Mendasarinya

Banyak dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah yang mulia ini. Di antaranya adalah hadits Jabir bin Abdillah :

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبيِّ فِي غَزَاةٍ، فَقَالَ: إِنَّ بِالْمَدِيْنَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيْراً، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً، إِلاَّ كَانُوْا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ. وَفِي رِوَايَةٍ : إِلاَّ شَرَكُوْكُمْ فِي اْلأَجْرِ. 

Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah Al Anshari, ia berkata : Kami pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu peperangan, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa laki-laki yang mana tidaklah kalian menempuh perjalanan, tidak pula melewati lembah melainkan mereka bersama kalian, sakit telah menghalangi mereka.” [1]HR  al-Bukhari no. 4423 dan Muslim no. 1911

Dalam riwayat yang lain “Melainkan mereka berserikat dengan kalian dalam pahala”

Dalam hadits di atas disebutkan tentang beberapa orang yang tidak turut serta dalam jihad, bukan karena enggan tapi karena sakit yang menghalangi mereka. Sesungguhnya mereka telah bertekat dan berniat untuk menyertai Nabi ﷺ untuk berjihad namun udzur telah menghalangi sehingga mereka tidak kelur bersama beliau. Dan Nabi ﷺ telah mengkhabarkan bahwa mereka menyertai orang-orang yang berangkat jihad dalam pahala. Hal ini menunjukkan bahwa dengan niat seseorang bisa mencapai sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh amalannya. Dan bahwa niat seseorang lebih utama daripada sekedar amalannya.

Demikian pula di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah hadits Abu Kabsyah Al Anmari :

عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الْأَنَّمَارِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقهُ اللهُ عِلْمًا، وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ، فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا، وَلَمَ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيرِ عِلْمٍ، لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ، وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بأَخْبَثِ المَنَازِلِ. وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلاَ عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بنِيَّتِهِ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Dari Abu Kabsyah Al Anmari, bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang : Seorang hamba yang Allah ﷻ berikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu, dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan ia mengetahui hak Allah ﷻ padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama. Seorang hamba yang Allah ﷻ berikan rizqi kepadanya berupa ilmu namun tidak diberi rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik, dan dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta, aku akan berbuat seperti perbuatan si fulan”.

Dengan niat yang baik itu maka pahala keduanya sama. Seorang hamba yang Allah ﷻ berikan rizqi kepadanya berupa harta namun tidak diberi rizqi berupa ilmu, kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertaqwa kepada Rabbnya pada harta itu, tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan tidak mengetahui hak Allah ﷻ padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk. Dan seorang hamba yang Allah ﷻ tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta maupun ilmu, kemudian dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si fulan (orang ketiga)”. Dengan niatnya itu maka keduanya mendapatkan dosa yang sama.” [2]HR. at-Tirmidzi no. 2325 dan Ibnu Majah no. 4228. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 3406. 

Sisi pendalilan dari hadits ini jelas, yaitu berkaitan dengan orang kedua yang diberi ilmu namun tidak diberi harta. Ketika ia memiliki niat yang jujur dan tekad yang kuat bilamana diberi harta semisal orang pertama maka ia akan berbuat kebaikan semisalnya. Maka dengan niat itu, Allah ﷻ memberikan pahala yang sama kepada keduanya. Demikian pula halnya dengan orang keempat yang mendapatkan dosa semisal dosa orang ketiga dikarenakan niat buruk yang ada dalam hatinya. Hal ini menunjukkan bahwa dengan niat seseorang akan mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh amalannya. Dan bahwasanya niat itu lebih penting daripada sekedar amalan.

Contoh Penerapan Kaidah

Di antara contoh penerapan kaidah yang mulia ini adalah sebagai berikut :

  1. Seseorang yang mewakafkan sebagian hartanya dengan niat untuk memberikan manfaat kepada kaum muslimin untuk selamanya, kemudian terjadi suatu hal yang mengakibatkan harta wakaf tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi seperti terkena bencana alam, terbakar, atau semisalnya, maka si pewakaf diharapkan memperoleh pahala yang terus-menerus meskipun harta yang diwakafkannya telah rusak. Hal ini dikarenakan karunia Allah ﷻ yang luas untuk hamba-Nya dan karena niat yang shalih dari si pewakaf. Dan dengan niatnya seseorang bisa meraih keutamaan yang tidak bisa diraih dengan amalannya.
  2. Seseorang yang ingin memberikan zakat kepada orang fakir, dan ia telah berusaha untuk mencarinya. Kemudian ia mendapatkan seseorang yang menurut perkiraan kuatnya dia  adalah orang fakir, lalu ia memberikan zakat kepadanya. Ternyata orang tersebut adalah orang kaya maka menurut pendapat yang shahih adalah bahwa kewajiban zakatnya telah gugur, karena perkiran kuat itu telah cukup dalam mengerjakan amalan. Bahkan ia mendapatkan pahala semisal orang yang menyerahkan zakat kepada yang berhak menerimanya meskipun realitanya ia memberikan kepada orang kaya. Hal tersebut dikarenakan niatnya yang shalih.
  3. Seorang wanita yang di malam hari berniat untuk melaksanakan puasa Arafah atau puasa Asyura’ esok harinya, ternyata kemudian terhalangi dari melaksanakan puasa karena keluarnya darah haid, maka insyaAllah dicatat baginya pahala melaksanakan puasa tersebut. Karena dengan niat, seseorang bisa mencapai sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh amalannya. Dan niat lebih utama daripada amalan.
  4. Seseorang yang berniat untuk melaksanakan shalat malam dan telah mempersiapkan perkara-perkara yang membantunya supaya bisa bangun malam, ternyata kemudian ia tidak terbangun, maka dengan niat yang shalih tersebut insyaAllah ia dicatat melaksanakan shalat malam.
  5. Seseorang yang berniat untuk mengeluarkan zakat dan telah mempersiapkan hal-hal yang berkaitan untuk bisa melaksanakannya akan tetapi kemudian harta yang akan dizakati itu terbakar, bukan karena keteledorannya, maka sesungguhnya telah gugur kewajiban zakat darinya. Bahkan diharapkan ia mendapat pahala mengeluarkan zakat karena ia telah berniat dan bertekat untuk menunaikannnnya, hanya saja muncul perkara yang mengahalangi, sehingga tidak bisa mewujudkan niatnya itu. Sedangkan niat lebih utama dari sekedar amalan.

Demikian sebagian contoh penerapan kaidah yang mulia ini, sekaligus menggambarkan betapa pentingnya niat dan betapa besar pahala yang bisa didapatkan dengan niat yang baik. Maka sudah seharusnya bagi kita untuk senantiasa memperhatikan perkara niat dan hendaklah kita berusaha meniatkan kebaikan di setiap ucapan dan perbiuatan yang kita lakukan. [3]Diangkat dari  Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Keenam.

Wallahu a’lam bisshowab.

Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى

Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 HR  al-Bukhari no. 4423 dan Muslim no. 1911
2 HR. at-Tirmidzi no. 2325 dan Ibnu Majah no. 4228. Dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 3406. 
3 Diangkat dari  Risalah fi Tahqiq Qawa’id an-Niyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Keenam.
Back to top button