Sistem Ekonomi Islam Menolak Riba

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki sistem ekonomi sendiri. Jika kita mencermati keterangan para ulama tentang dampak-dampak buruk riba, bisa disimpulkan bahwa riba sangat bertolak belakang dengan sistem ekonomi Islam.
Berikut ini sebagian dari bentuk riba yang dipraktekkan masyarakat Arab jahiliyah :
Seseorang memberikan pinjaman 10 keping uang emas selama waktu yang ditentukan dengan syarat nanti dibayar sebanyak 11 keping uang emas.
Atau seseorang meminjam 10 keping uang emas, bila jatuh tempo pelunasan dan ia belum mampu membayar, ia mengatakan, “Beri saya masa tangguh, nanti piutang anda akan saya tambah”. [1]Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bogor : Berkat Mulia Insani, 2012, halaman 288-289
Tulisan ini bertujuan memaparkan beberapa prinsip penting dalam sistem ekonomi Islam sekaligus membuktikan bahwa riba sangat bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut.
Kesempurnaan Islam dan Ide Sistem Ekonomi Islam
Secara umum lahirnya ide tentang sistem ekonomi Islam didasarkan pada pemikiran bahwa sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam tidak hanya memberikan penganutnya aturan-aturan tentang ketuhanan dan iman, akan tetapi juga jawaban atas berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia, termasuk ekonomi. Sistem ekonomi Islam bukanlah sistem ekonomi alternatif, akan tetapi merupakan sistem ekonomi solutif atas berbagai permasalahan. Sistem ekonomi yang memberikan peran kepada semua elemen untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati. [2]M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syari’ah, Bandung : Pustaka Setia, 2020, halaman 69
Salah satu dalil yang menunjukkan kesempurnaan Islam adalah firman Allah ta’ala :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu …” (Al-Maidah : 3)
Adanya sistem ekonomi Islam juga merupakan kebutuhan mendasar bagi umat manusia. Karena dalam menjalani hidup, manusia pasti melakukan aktivitas ekonomi untuk memperoleh sarana-sarana hidup layak, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Aktivitas tersebut juga sangat menentukan terpenuhinya kebutuhan orang lain disekitarnya. Ini karena manusia tidak sanggup memenuhi semua kebutuhannya jika hanya mengandalkan dirinya sendiri.
Dan dikarenakan manusia hidup di tengah-tengah masyarakat, tidak mungkin dia melakukan aktivitas ekonomi sekehendaknya. Perlu adanya satu sistem yang mengatur aktivitas ekonomi yang dapat mewujudkan kebaikan untuknya dan masyarakatnya. Sistem ini memerlukan pondasi dan dasar-dasar pemikiran yang membentuk rambu-rambu atau aturan-aturan. [3] ‘Abdul Karim Zaidan, Ushul Ad-Da’wah, Damaskus : Muassasah Ar-Risalah, 2016, halaman 233
Berlandaskan Akidah dan Menekankan Akhlak
Sistem ekonomi Islam adalah kumpulan hukum-hukum ekonomi yang disimpulkan dari sumber-sumber asasi hukum Islam, mengatur semua urusan terkait harta pribadi, negara maupun rakyat, dan didasarkan pada akidah Islam serta mengarahkan kepada nilai-nilai kebaikan dan akhlak. [4]Mahmud ‘Abdul Karim Irsyid, Al-Madkhal Ilal Iqtishad Al-Islami, Urdun : Dar An-Nafais, 2012, halaman 16-17
Seorang yang akidahnya kuat akan selalu merasa diawasi Allah. Perasaan inilah yang kemudian memberinya kekuatan sehingga mampu menjauhi perkara-perkara haram dan tindakan-tindakan zhalim. Dia akan berperilaku baik kepada dirinya dan kepada siapa saja yang berinteraksi dengannya. Di samping itu Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk bertauhid, berlaku adil, jujur, amanah, saling membantu, sabar dan berani. Nilai-nilai dan akhlak mulia ini memberi pengaruh yang besar terhadap perilaku dan aktivitas ekonomi seseorang. [5]‘Abdul ‘Azhim Al-Ishlahi, Mabadi’ Aliqtishad Al-Islami, Riyadh : Maktabah Dar Al-Minhaj, 1429 H, halaman 20
Sistem ekonomi Islam juga merupakan ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktik sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat, ataupun pemerintah dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan, tunduk dalam peraturan/perundang-undangan Islam. [6]M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syari’ah, Bandung : Pustaka Setia, 2020, halaman 69
Nilai-nilai Kebaikan dalam Sistem Ekonomi Islam
Nilai-nilai dalam sistem perekonomian Islam meliputi perekonomian masyarakat luas, keadilan distribusi pendapatan, dan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan ini, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tidak diikat batas georafis.
Dalam Islam keadilan memiliki dua implikasi, salah satunya adalah keadilan ekonomi. Keadilan ekonomi sebagai penyeimbang keadilan sosial, sehingga keadilan
sosial tidak kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat.
Dan setiap individu harus terbebas dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang Muslim merugikan orang lain. Allah ta’ala berfirman :
وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْياءَهُمْ وَلا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi.” (Asy-Syu’ara : 183)
Peringatan keras ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu dan masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan umum sebagai tujuan utama Islam. [7]Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Depok : Gema Insani, 2019, halaman 18-21
Maka seseorang yang ingin mengembangkan harta miliknya, tidak boleh menggunakan cara-cara yang merusak akhlak dan memutuskan ikatan cinta antara mereka, misalnya dengan membuka tempat-tempat maksiat atau mengembangkan harta melalui riba. Lebih lanjut dalam kaitannya dengan prinsip menjaga akhlak, ada yang merupakan tugas individu, seperti menerapkan kejujuran dan menepati janji. Ada juga yang merupakan tugas dari pemerintah, misalnya pelarangan membuka tempat-tempat maksiat atau segala bentuk praktek riba. [8]‘Abdul Karim Zaidan, Ushul Ad-Da’wah, Damaskus : Muassasah Ar-Risalah, 2016, halaman 239
Dari keterangan ini diketahui bahwa riba bertentangan dengan sistem ekonomi Islam. Karena hakekat riba adalah menzalimi orang lain. Pelaku riba mendapatkan keuntungan tambahan dari orang yang berhutang kepadanya, dan di saat yang sama pengutang tidak mendapatkan faedah sepadan dengan beban yang dia tanggung. Riba merusak keadilan sosial dan keadilan ekonomi yang merupakan nilai-nilai dalam sistem ekonomi Islam.
Oleh karena itu ada ulama yang mengatakan, salah satu dampak buruk riba adalah membentuk pribadi yang individualis, hanya mementingkan diri sendiri. [9]Nuruddin ‘Itr, I’lamul Anam, Damaskus : Dar Al-Minhaj Al-Qawim, 2019, jilid 3 halaman 40
Distribusi Harta Kepada Masyarakat Tidak Mampu
Islam melarang penumpukan kekayaan yang berlebihan di tangan seseorang atau konsentrasi ekonomi pada lapisan tertentu. Sistem ekonomi Islam bertujuan mewujudkan kesejahteraan bersama dengan diterapkannya produksi dan distribusi yang adil dan merata. Islam mewajibkan zakat, infak dan sedekah atas harta yang dimiliki orang-orang kaya yang harus dikelola dan didistribusikan kepada kelompok-kelompok yang kurang memperoleh kesempatan dalam mengembangkan perekonomian mereka. Harta tidak hanya untuk dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan sendiri, tetapi di sana ada fungsi sosial yang harus didistribusikan ke dalam masyarakat, baik melalui jalur-jalur bisnis komersial maupun jalur-jalur sosial. [10]Darwis Hude, dkk, Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002, halaman 147
Salah satu dalil prinsip ini adalah firman Allah ta’ala :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِياءِ مِنْكُمْ
“… (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …” (Al-Hasyr : 7)
Ayat ini meskipun membahas tentang pembagian harta rampasan perang, namun di dalamnya terdapat pelajaran penting terkait prinsip pemerataan dan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat. Ayat ini dengan tegas menjelaskan hikmah pembagian harta rampasan perang kepada beberapa pihak adalah agar terjadi pemerataan kekayaan. [11]Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, Damaskus : Darul Fikr, 2003, jilid 14 halaman 456
Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih daripada yang lain selama kekayaan itu diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat atau infak atau sedekah. Meskipun demikian Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer. [12]Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Depok : Gema Insani, 2019, halaman 22-23
Riba sangat bertolak belakang dengan prinsip ini. Karena dengan riba harta menjadi terpusat pada orang-orang kaya saja. Ada ulama yang menyebutkan bahwa dampak buruk riba dari sisi perekonomian adalah menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua tingkat. Tingkat atas adalah orang-orang yang bergelimang harta, hidup dalam kemewahan yang didapat dari kesusahan orang lain. Tingkat bawah adalah orang-orang yang kekurangan harta, hidup dalam kesusahan. [13]Ash-Shabuni, Rawa-iul Bayan, Mesir : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2007, jilid 1 halaman 316
Wallahu a’lam
Disusun oleh Fajri Nur Setyawan, Lc, M.H.
Artikel Ilmiah Alukhuwah.Com
Referensi:
- ‘Abdul Karim Irsyid, M. (2012). Al-Madkhal Ilal Iqtishad Al-Islami. Dar An-Nafais
- A. Karim, A. (2018). Ekonomi Islam ; Suatu Kajian Kontemporer. Gema Insani
- Boedi Abdullah, H. (2011). Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam. Pustaka Setia
- Hude, D, dkk. (2002). Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur’an. Pustaka Firdaus
- Ibnu Katsir. (1998). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah
- ‘Itr, Nuruddin. (2019). I’lamul Anam Bi Syarhi Bulughil Maram Min Ahaditsil Ahkam. Dar Al-Minhaj Al-Qawim
- Nur Rianto Al Arif, M. (2020). Pengantar Ekonomi Syari’ah. Pustaka Setia
- Syafii Antonio, M. (2019). Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik. Gema Insani
- Tarmizi, E. (2012). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Berkat Mulia Insani
- Zaidan, A. K. (1433). Al-Madkhal Li Dirasat Asy-Syariah Al-Islamiyyah. Muassasah Ar-Risalah
- Zaidan, A. K. (1437). Ushulud Da’wah. Muassasah Ar-Risalah
- Zuhaili, W. (2009). Al-Tafsir Al-Munir Fil ’Aqidah Wa Asy-Syari’ah Wa Al-Manhaj. Darul FikrZuhaili, W. (1985). Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Darul Fikr
Referensi
1 | Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, Bogor : Berkat Mulia Insani, 2012, halaman 288-289 |
---|---|
2, 6 | M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syari’ah, Bandung : Pustaka Setia, 2020, halaman 69 |
3 | ‘Abdul Karim Zaidan, Ushul Ad-Da’wah, Damaskus : Muassasah Ar-Risalah, 2016, halaman 233 |
4 | Mahmud ‘Abdul Karim Irsyid, Al-Madkhal Ilal Iqtishad Al-Islami, Urdun : Dar An-Nafais, 2012, halaman 16-17 |
5 | ‘Abdul ‘Azhim Al-Ishlahi, Mabadi’ Aliqtishad Al-Islami, Riyadh : Maktabah Dar Al-Minhaj, 1429 H, halaman 20 |
7 | Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Depok : Gema Insani, 2019, halaman 18-21 |
8 | ‘Abdul Karim Zaidan, Ushul Ad-Da’wah, Damaskus : Muassasah Ar-Risalah, 2016, halaman 239 |
9 | Nuruddin ‘Itr, I’lamul Anam, Damaskus : Dar Al-Minhaj Al-Qawim, 2019, jilid 3 halaman 40 |
10 | Darwis Hude, dkk, Cakrawala Ilmu Dalam Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002, halaman 147 |
11 | Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, Damaskus : Darul Fikr, 2003, jilid 14 halaman 456 |
12 | Muhammad Syafii Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik, Depok : Gema Insani, 2019, halaman 22-23 |
13 | Ash-Shabuni, Rawa-iul Bayan, Mesir : Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, 2007, jilid 1 halaman 316 |