Qawa’id Fiqhiyyah: Beramal dengan Dugaan Kuat dalam Ibadah Telah Mencukupi

Makna Kaidah
Kaidah ini membahas tentang permasalahan ibadah, di mana seseorang cukup dalam mengerjakannya bersandarkan pada dugaan kuat. Hal ini karena permasalahan ibadah berkaitan dengan hak Allah ﷻ sehingga ada sisi keringanan di dalamnya, Berbeda dengan permasalahan muamalat yang berkaitan dengan hak sesama manusia, maka yang menjadi ukuran adalah realitas yang ada, tidak sekedar perkiraan atau persangkaan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Manzhumah Ushulil Fiqhi wa Qawa’idihi :
وَالظَّـــنُّ فِــيْ الْعِـبَــادَةِ الْـمُـعْـتَــبَرُ
وَنَـفْـسَ اْلأَمْــرِ فِــيْ الْعُـقُـوْدِ اعْـتَـبَــرُوْا
Dugaan di dalam ibadah itu sesuatu yang dianggap
Dan realitas perkara itulah yang dianggap dalam akad-akad
[1]Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 1
47
Dalil yang Mendasari
Banyak dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah riwayat Bukhari dan Muslim tentang tata cara mandi Nabi ﷺ, di mana Aisyah berkata :
حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Sehingga ketika beliau menduga bahwa air sudah membasahi kulit kepalanya maka beliau menyiram kepalanya tiga kali.” [2]HR. al-Bukhari no. 272 dan Muslim 316.
Syaikh Khalid bin ’Ali Al Musyaiqih mengatakan, “Hadits ini menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah itu cukup dengan dugaan, sehingga apabila pakaian seseorang terkena najis maka kita katakan cukuplah pakaian itu dicuci sampai muncul dugaan bahwa najisnya telah hilang, dan itu telah mencukupi. Demikian pula jika seseorang dalam kondisi yang mewajibkan mandi, seperti janabah, haid, nifas, dan semisalnya, maka yang wajib baginya adalah menyiramkan air ke seluruh badannya sampai muncul dugaan bahwa seluruh badannya telah terkena air, jika ia telah menduga bahwa air telah sampai ke seluruh badannya maka itu telah mencukupi.” [3]al-‘Iqdu ats-Tsamin fi Syarh Manzhumah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Syaikh Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-35.
Demikian pula, di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah hadits Asma’ binti Abi Bakr, ia berkata :
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
“Kami pernah berbuka puasa di zaman Nabi ﷺ pada saat mendung, kemudian tiba-tiba matahari muncul.” [4]HR. al-Bukhari no. 1959.
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sebagian shahabat berbuka puasa dengan dugaan kuat bahwa matahari telah terbenam. Setelah itu nampak bahwa ternyata matahari belum terbenam. Hal ini menunjukkan bolehnya beramal dengan dugaan kuat. Jika hal itu tidak diperbolehkan tentulah Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk mengqadha’ puasa.
Ketika Nabi ﷺ tidak memerintahkan mereka mengqadha’ puasa maka hal itu menunjukkan bolehnya apa yang mereka kerjakan yaitu berbuka puasa dengan bersandar pada dugaan kuat akan tenggelamnya matahari.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Nabi ﷺ tidak memerintahkan mereka mengqadha’ puasa. Seandainya mengqadha’ dalam kondisi itu wajib tentulah Nabi ﷺ memerintahkannya. Dan seandainya beliau memerintahkan tentulah sudah dinukil untuk kita, karena jika beliau memerintahkan pastilah itu termasuk bagian syariat, sedangkan syariat Allah ﷻ senantiasa terjaga.” [5]Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 149.
Contoh Penerapan Kaidah
Berikut ini beberapa contoh kasus sebagai penjelasan aplikatif dari kaidah yang mulia ini :
- Apabila seseorang mencuci baju yang terkena najis sehingga muncul dugaan kuat darinya bahwa najis itu telah hilang, maka baju tersebut dihukumi suci, meskipun realitasnya masih tersisa najis di baju tersebut. Karena dalam hal ini yang dijadikan ukuran adalah apa yang menjadi dugaan seorang mukallaf.
- Seseorang yang melaksanakan sholat dzuhur, ketika sudah sampai di tasyahud akhir ia merasa ragu apakah ia telah sholat tiga rakaat ataukah empat rakaat, dan ia punya dugaan kuat bahwa sholatnya telah sempurna empat rakaat. Maka dalam hal ini yang ia lakukan adalah mencukupkan dengan dugaan kuatnya dan menganggap sholatnya sempurna empat rakaat, kemudian mengerjakan dua kali sujud sahwi setelah salam. Seandainya secara realitas shalatnya baru tiga rakaat maka shalatnya tetap sah karena yang menjadi ukuran dalam ibadah adalah dugaan kuat.
- Seseorang yang menyerahkan zakatnya kepada orang yang menurut dugaan kuatnya ia adalah orang yang berhak menerima zakat, kemudian diketahui bahwa orang itu bukanlah orang yang berhak menerima zakat maka zakatnya sah dan telah gugur kewajibannya, karena ia telah melakukan pembayaran zakat itu sesuai dugaan kuatnya, dan itu cukup dalam permasalahan ibadah.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ tentang kisah seorang pembayar zakat :
قاَلَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ اللَّيْلَةَ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ، لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى غَنِيٍّ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ وَعَلَى سَارِقٍ فَأُتِيَ فَقِيْلَ لَهُ : أَمَّا صَدَقَتُكَ فَقَدْ قُبِلَتْ أَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا تَسْتَعِفُّ بِهَا عَنْ زِنَاهَا وَلَعَلَّ الْغَنِيُّ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللهُ وَلَعَلَّ السَّارِقَ يَسْتَعِفُّ بِهَا عَنْ سَرِقَتِهِ
Seseorang telah berkata, “Sungguh aku akan bersedekah malam ini.” Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya ke tangan seorang pezina. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan bahwa sedekah telah diberikan kepada seorang pezina. Ia berkata, “Ya Allah ﷻ, segala puji bagi-Mu, sedekahku ternyata jatuh pada seorang pezina, sungguh aku akan bersedekah kembali”. Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya kepada orang kaya. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan bahwa sedekah telah diberikan kepada orang kaya. Ia berkata, “Ya Allah ﷻ, segala puji bagi-Mu, sedekahku ternyata jatuh pada seorang kaya, sungguh aku akan bersedekah kembali”. Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya kepada pencuri. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan bahwa sedekah telah diberikan kepada seorang pencuri. Ia berkata, “Ya Allah ﷻ, segala puji bagi-Mu, sedekahku ternyata jatuh pada seorang pezina, orang kaya, dan seorang pencuri”. Maka ia didatangi (dalam mimpi) dan dikatakan padanya, “Adapun sedekahmu maka telah diterima. Adapun pezina mudah-mudahan dengan sebab sedekahmu ia menjaga diri dari perzinaan. Dan mudah-mudahan orang kaya tersebut mengambil pelajaran kemudian menginfakkan harta yang Allah ﷻ berikan kepadanya. Dan mudah-mudahan dengan sebab itu pencuri tersebut menjaga diri dari kebiasaan mencuri.” [6]HR Muslim no. 1022. - Apabila seseorang melaksanakan thawaf di ka’bah dan ia ragu-ragu apakah thawafnya sudah enam putaran atau tujuh putaran, dan muncul dugaan kuat darinya bahwa ia telah thawaf sebanyak tujuh putaran, maka yang ia lakukan adalah mencukupkan dengan dugaan kuat tersebut dan menganggap thawafnya sempurna tujuh putaran. Hal ini karena dalam permasalahan ibadah cukuplah seseorang bersandar dengan dugaan kuatnya.
Demikian pembahasan singkat dari kaidah ini semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan semakin membuka wawasan kita tentang kaidah-kaidah fiqih dalam agama kita yang mulia ini.
Diangkat dari Tahrir al-Qawa’id wa Majma’ al-Faraaid, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah ke-32.
Wallahu a’lam bisshowab.
Disusun oleh Ustadz Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A., حفظه الله تعالى
Artikel Ilmiyah AlUkhuwah.Com
Referensi
| 1 | Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 1 47 |
|---|---|
| 2 | HR. al-Bukhari no. 272 dan Muslim 316. |
| 3 | al-‘Iqdu ats-Tsamin fi Syarh Manzhumah Syaikh Ibni ‘Utsaimin, Syaikh Khalid bin ‘Ali al-Musyaiqih, Penjelasan bait ke-35. |
| 4 | HR. al-Bukhari no. 1959. |
| 5 | Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hlm. 149. |
| 6 | HR Muslim no. 1022. |







