Qawa’id Fiqhiyyah: Ukuran dalam Akad adalah Niat dan Maknanya, bukan Lafadz dan Bentuknya

Ukuran dalam Akad adalah Niat dan Maknanya, bukan Lafadz dan Bentuknya

Diangkat dari Kitab Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqoh bi Al-Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, hlm. 87-98, dengan beberapa penyesuaian dan tambahan.

Makna Kaidah

Kaidah ini menjelaskan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menentukan hukum suatu akad muamalat adalah niat dan makna yang terkandung dalam akad itu, tidak sekedar lafadz yang diucapkan dalam akad, tidak pula bentuk lahiriyah akad tersebut. [1]Ini adalahi pendapat jumhur ulama’ dari madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian pendapat ulama’ Syafi’iyyah, dan sebagian pendapat ulama’ Hanabilah.

Kaidah ini diperselisihkan oleh para ulama, oleh karena itu sebagian ulama’ menyebutkannya dengan bentuk pertanyaan, “Apakah yang menjadi ukuran dalam akad itu niat dan maknanya ataukah lafadz dan bentuknya?”. Pendapat yang shahih dalam hal ini adalah bahwa yang menjadi ukuran adalah niat dan makna yang terkandung dalam akad tersebut. [2]Sisi penerapan keidah ini nampak jelas dalam lafadz akad yang penggunaannya tidak dikenal secara luas Misalnya seorang wali berkata ketika menikahkan anak perempuannya, “Saya jual anak perempuanku … Continue reading

Dalil Kaidah

Di antara dalil yang menjadi landasan kaidah ini adalah sabda Nabi :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. [3]HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907

Sisi pendalilan dari hadits ini : Nabi menjadikan niat sebagai ukuran dalam amalan, baik perbuatan ataupun perkataan, dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.”

Demikian pula di antara dalil yang menunjukkan bahwa perubahan lafadz itu tidak merubah hakikat makna adalah sebuah riwayat di mana Nabi pernah menugaskan seseorang dari suku Azd untuk menarik zakat, ketika menarik zakat ia menerima hadiah dari para pembayar zakat, setelah hal itu disampaikan kepada Nabi , maka beliau bersabda  :

فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَبَيْتِ أُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا

“Tidakkah engkau duduk saja di rumah ayahmu atau rumah ibumu, maka apakah akan datang hadiah kepadamu jika memang engkau jujur.” [4]HR. Bukhari no. 7197

Dalam hadits tersebut, meskipun pemberian dari pembayar zakat itu dinamakan hadiah, namun Nabi menghukuminya sebagai risywah (suap), karena hadiah untuk pekerja adalah ghulul (khiyanat), ini menunjukkan bahwa yang dijadikan ukuran adalah makna yang terkandung, bukan sekedar lafadz yang digunakan.

Demikian pula secara logika, niat dan makna itu lebih berhak untuk dijadikan ukuran daripada lafadz, karena lafadz digunakan untuk mengungkapkan apa yang diniatkan atau makna yang diinginkan, dan lafadz sekedar sarana untuk mengungkapkan makna yang diinginkan tersebut. [5]Sebagian ulama’ berpendapat bahwa akad nikah dikecualikan dari penerapan kaidah ini, di mana akad pernikahahan harus dilakukan dengan lafadz yang dikenal penggunaannya untuk akad nikah, dalam … Continue reading

Contoh Penerapan Kaidah

  1. Apabila seseorang berkata, “Saya hibahkan mobil saya kepadamu dengan dibayar Rp. 100.000.000”. Di sini, lafadz yang digunakan adalah lafadz hibah (pemberian), namun makna yang terkandung adalah makna jual beli, karena adanya harga yang harus dibayar, maka akad ini dihukumi sebagai akad jual beli, karena yang dijadikan ukuran adalah makna yang terkandung dalam akad, tidak sekedar lafadz yang digunakan.

  2. Jika seseorang berkata, “Saya jual kepadamu mobil ini tanpa perlu dibayar”, maka akadnya dihukumi akad hibah (pemberian). Lafadz yang digunakan dalam akad ini adalah lafadz jual beli, namun makna yang terkandung di dalamnya adalah akad hibah (pemberian), karena tidak ada harga yang perlu dibayar. Menurut pendapat yang shahih bahwa akad ini dihukumi sebagai akad hibah, bukan akad jual beli karena yang dijadikan ukuran adalah makna yang terkandung dalam akad, tidak sekedar lafadz yang digunakan.

  3. Apabila seseorang berkata kepada orang lain, “Saya jual kepadamu manfaat rumahku ini selama setahun”, dalam akad ini lafadz yang digunakan adalah lafadz jual beli, namun makna yang terkandung adalah makna ijarah (sewa menyewa), karena adanya pembatasan waktu dalam pemanfaatan objek yang ditransaksikan (satu tahun), maka akad ini dihukumi sebagai akad sewa menyewa karena yang dijadikan ukuran adalah makna yang terkandung dalam akad, tidak sekedar lafadz yang digunakan.

Terkait pula dengan pembahasan kaidah ini, bahwa akad jual beli tidak dipersyaratkan adanya penggunaan lafadz, karena penggunaan lafadz bukanlah tujuan dari pelaksanaan jual beli, oleh karena itu jual beli sah dengan sekedar perbuatan, yang dikenal dalam pembahasan fiqih dengan bai’ mu’athoh, yaitu si penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan harganya tanpa adanya ucapan antara keduanya.

Ini sering terjadi, misalnya ketika seseorang berada di toko dan mengetahui harga barang, maka ia langsung mengambil barang itu, lalu ia menemui penjual dan menyerahkan uangnya, lalu keluar dari toko, tanpa ada pembicaraan apapun antara keduanya. Ini disebut jual beli mu’athoh, dan jumhur ulama’ berpendapat sahnya jual beli ini. Di antara argumentasi diperbolehkannya jual beli secara mu’athoh  adalah sebagai berikut :

  1. Penggunaan lafadz bukanlah ukuran dalam akad jual beli, namun yang jadi ukuran adalah makna yang terkadung di dalamnya, apabila perbuatan sudah menunjukkan makna jual beli maka sah jual beli dengannya.

  2. Jual beli datang dalam syari’at secara mutlaq (umum), tidak ada ketentuan batasannya secara khusus dalam syari’at maupun secara bahasa, maka dikembalikan kepada urf (kebiasaan) yang ada di tengah-tengah masyarakat.

  3. Jual beli mu’athoh dilaksanakan di negeri-negeri kaum muslimin tanpa adanya pengingkaran, maka ini termasuk kesepakatan (ijma’), meskipun jenis barangnya berbeda-beda namun tata cara jual beli seperti ini dilakukan di seluruh negeri kaum muslimin.

Terkait pula dengan kaidah ini, bahwa jual beli sah dengan tulisan, baik pelaku akad hadir ditempat terjadinya akad maupun tidak. Jika si A menulis kepada si B, “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 100.000.000”, lalu si B menjawab dengan tulisan juga, “Iya, saya setuju membelinya”, maka jual belinya sah. Namun ada beberapa ketentuan seputar jual beli secara tertulis ini, di antaranya :

  1. Hendaknya tulisan yang digunakan mustabinah, yaitu huruf-hurufnya jelas dan ada bekasnya, oleh karena itu tulisan di udara, atau seorang menulis di bantal dengan jarinya tanpa ada huruf-huruf yang nampak, atau menulis dengan paku di bongkahsan es yang langsung mencair, atau menulis di air, semuanya itu tidak dianggap karena huruf-hurufnya tidak jelas dan tidak ada bekasnya.

  2. Hendaknya tulisan tersebut marsumah, yaitu jelas dari siapa dan kepada siapa tulisan itu ditujukan. Adapun jika tulisan tersebut mubham (tidak jelas dari siapa dan untuk siapa ditujukan) maka tullisan tersebut tidak dianggap. Misalnya seseorang menulis kepada orang lain, “Saya jual kepadamu rumah saya”, tanpa menyebutkan siapa yang dituju dalam tulisan tersebut, maka tulisan itu tidak dianggap.

  3. Jika pihak penerima tulisan tidak hadir di majelis akad, maka majelis akadnya adalah ketika ia membaca  tulisan tersebut. Misalnya jika si A  menulis surat kepada si B, “Saya jual kepadamu rumah saya seharga Rp. 200.000.000,” lalu ketika surat itu sampai kepada si B dan ia membacanya dan ia langsung berkata, “Iya, saya setuju membelinya”, maka ketika itu akad jual beli telah mengikat.

    Hal ini karena suatu akad dikatakan sah jika ijab dan qobulnya terjadi di majelis akad, sehingga tidak sah jika si A berkata kepada si B, “Saya jual kepadamu mobil ini dengan harga Rp. 50.000.000”, sehari kemudian keduanya bertemu lagi dan baru si B mengatakan, “Saya setuju membelinya”, maka akad jual belinya tidak sah karena ijab dan qobul tidak terjadi di majelis akad, maka harus diulangi dari awal.

Disusun oleh Abu Muslim Nurwan Darmawan

Artikel Ilmiyah Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 Ini adalahi pendapat jumhur ulama’ dari madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, sebagian pendapat ulama’ Syafi’iyyah, dan sebagian pendapat ulama’ Hanabilah.
2 Sisi penerapan keidah ini nampak jelas dalam lafadz akad yang penggunaannya tidak dikenal secara luas Misalnya seorang wali berkata ketika menikahkan anak perempuannya, “Saya jual anak perempuanku ini kepadamu seharga Rp. 10.000.000”, lalu calon mempelai pria menjawab, “Saya terima”. Dalam akad ini, lafadz yang digunakan adalah lafadz jual beli, namun makna yang terkandung adalah akad pernikahan.

Jika yang dijadikan ukuran adalah sekedar lafadznya, maka konsekuensinya akad tersebut batal karena tidak boleh memperjual belikan orang merdeka. Adapun jika yang dijadikan ukuran adalah makna yang terkandung dalam akad, maka akad tersebut sah sebagai akad nikah, karena tidak mungkin yang dimaksudkan adalah akad jual beli secara hakiki, inilah pendapat yang lebih kuat. Maka setiap lafadz yang bisa difahami menunjukkan kepada suatu akad tertentu, maka akad itu sah menggunakan lafadz tersebut.

3 HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907
4 HR. Bukhari no. 7197
5 Sebagian ulama’ berpendapat bahwa akad nikah dikecualikan dari penerapan kaidah ini, di mana akad pernikahahan harus dilakukan dengan lafadz yang dikenal penggunaannya untuk akad nikah, dalam rangka menjaga kehormatan manusia. Sebagaimana telah maklum bahwa syari’at sangat memperhatikan dalam menjaga kehormatan, melebihi dari permasalahan lainnya, sebagaimana dalam masalah penetapan seseorang melakukan perzinaan harus ada 4 orang saksi dengan syarat-syarat yang ketat, berbeda dengan hukum qishosh yang cukup dengan 2 orang saksi. Dan termasuk di dalam penjagaan kehormatan ini adalah menggunakan lafadz-lafadz yang sudah ma’lum dan dikenal dalam akad nikah, karena pernikahan adalah untuk menghalalkan hubungan suami isteri, yang mana hukum asal hubungan tersebut adalah haram, maka dalam akad pernikahan hendaknya dengan lafadz yang sudah dikenal untuk dipakai dalam akad nikah, maka tidak selayaknya menikahkan dengan ungkapan semisal, “Saya jual anak perempuan saya kepadamu seharga Rp. 10.000.00” atau lafadz semisalnyayang tidak ma’ruf. Ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih berhati-hati.
Back to top button