Qawa’id Fiqhiyyah: Pengantar Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah #2
Pengantar Ilmu Qawa’id Fiqhiyah bagian Kedua
Melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang Pengantar Ilmu Qawa’id Fiqhiyah bagian Pertama, selanjutnya kita lanjutkan dengan pembahasan Pengantar Ilmu Qawa’id Fiqhiyah bagian Kedua.
Hukum Berhujjah dengan Qawa’id Fiqhiyyah
Para ulama’ berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya berhujjah dengan kaidah-kaidah fiqih.[1]Penjelasan tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini bisa dilihat dalam kitab Al Wajiz fi Idhohi Qawa’id Al Fiqh Al Kulliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al … Continue reading Dan pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah dirinci sesuai kondisi kaidah tersebut, sebagaimana uraian berikut ini [2]Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqoh bil Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, hlm. 23-27.:
Pertama:
Kaidah fiqih yang teksnya diambil dari nash ayat Al Qur’an atau hadits Nabi ﷺ yang shohih, yaitu lafadznya sama persis dengan teks ayat Al Qur’an atau sabda Nabi ﷺ. Maka kaidah seperti ini bisa dijadikan hujjah, karena berhujjah dengan kaidah ini sama halnya berhujjah dengan ayat Al Qur’an atau hadits Nabi ﷺ.
Misalnya adalah kaidah
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“tidak boleh memadharati diri sendiri maupun orang lain”
dan kaidah
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“keuntungan yang didapatkan sesuai dengan resiko yang ditanggung”. [3]Syaikh Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari berkata, “Apabila suatu kaidah bersandar kepada nash syar’i dari Al-Kitab, As-Sunnah, atau ijma’, maka kaidah tersebut bisa dijadikan … Continue reading
Apabila suatu kaidah bersandar kepada nash syar’i dari Al-Kitab, As-Sunnah, atau ijma’, maka kaidah tersebut bisa dijadikan hujjah, akan tetapi bukan karena keberadaannya sebagai kaidah fiqh, namun karena keberadaannya bersandar kepada dalil naqli.
Kedua:
Kaidah fiqih yang teksnya disusun oleh para ulama’ namun kandungan maknanya berdasarkan pada apa yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Maka kaidah seperti ini juga bisa dijadikan hujjah, karena behujjah dengan makna nash itu diperbolehkan menurut para ulama’.
Misalnya kaidah
اْلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“amal perbuatan tergantung dengan niatnya”,
dan kaidah
الْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِ
“keyakinan tidak dikalahkan oleh keraguan”.
Ketiga:
Kaidah fiqih yang disusun berdasarkan istiqra’, yaitu berdasarkan kesimpulan para ulama setelah meneliti dan mencermati berbagai permasalahan fiqih, kemudian kesimpulan tersebut dijadikan kaidah. Maka kaidah seperti ini diperlakukan sebagaimana memperlakukan qiyas, yaitu tidak boleh berhujjah dengannya selama ada dalil khusus dari Al Qur’an, sunnah, maupun ijma’ dalam permasalahan yang dibahas.
Namun jika tidak ada dalil khusus dalam suatu permasalahan, maka boleh menggunkan kaidah tersebut sebagai hujjah sebagai bentuk menggabungkan hukum suatu permasalahan kepada permasalahan lain yang serupa. Misalnya adalah kaidah
التَّابِعُ تَابِعٌ
“pengikut dihukumi sama dengan yang dikuti”
dan kaidah
الْمَشْغُوْلُ لاَ يُشْغَلُ
“yang sibuk tidak ditambah kesibukan lainnya.” [4]Syaikh Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari berkata, “Kaidah fiqih bisa dijadikan hujjah ketika tidak ada dalil naqli dalam permasalahan yang dibahas, akan tetapi dipersyaratkan orang … Continue reading
Faidah Mempelajari Qawa’id Fiqhiyyah
Sangat banyak faidah yang bisa dipetik dengan mempelajari kaidah-kaidah fiqh. Di antaranya adalah sebagai berikut [5]Lihat Al Wajiz fi Idhohi Qawa’id Al Fiqh Al Kulliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Keempat, 1416 H, hlm. 24.:
- Memahami kaidah fiqih memudahkan seorang penuntut ilmu untuk menguasai hukum-hukum fiqih. Karena sebuah kaidah fiqih bisa digunakan untuk mengetahui hukum banyak permasalahan fiqih yang tercakup dalam pembahasannya. Dan ini akan sangat memudahkan seorang penuntut ilmu dalam menguasai fiqih tanpa harus menghafal permasalahan satu persatu.
Misalnya kaidah اْلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا “amal perbuatan tergantung dengan niatnya”, tercakup di dalamnya hukum tentang wajibnya niat di seluruh ibadah, baik thoharoh, sholat, zakat, haji, dan selainnya, dan mencakup juga wajibnya keikhlasan dalam setiap amal ibadah, dan bahwasanya niat merupakan salah satu penentu baik buruknya suatu amalan, dan selainnya dari pembahasan tentang niat.
Syaikh Prof. Dr. Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhaili berkata, “Sebaik-baik metode untuk menguasai ilmu fiqih adalah dengan menguasai kaidah-kaidah umum. Barangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah umum maka ia akan menguasai permasalahan-permasalahan cabang. Sedangkan orang yang mempelajari permasalahan cabang saja tanpa melihat kaidah umum maka dikhawatirkan ia akan lupa dengan apa yang ia baca. Oleh karena itu, jika engkau ingin membaca sebuah kitab fiqih, sebelum membaca suatu bab berusahalah untuk mengetahui hukum asal dari pembahasan tersebut menurut ulama’. Jika engkau ingin membaca bab tentang bejana, sebelum engkau masuk dalam rincian pembahasan, dan sebelum membaca permasalahan yang dibahas, kenalilah hukum asal dari bejana menurut ulama’, dan fahamilah kaidah umumnya yaitu “hukum asal bejana adalah suci dan mubah”, selesai!, kaidah umum tersebut sudah engkau kuasai, kemudian barulah membaca rincian pembahasannya, maka ilmu fiqih akan engkau kuasai.” [6]Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqoh bil Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, Hlm. 18.
- Menguasi kaidah fiqih akan membantu seseorang untuk mengetahui hukum nawazil jadidah (permasalahan-permasalahan kontemporer). Misalnya, hukum menggunakan bahan-bahan psikotropika, dan zat adiktif, yang bisa merusak badan dan akal, di mana bahan-bahan semacam itu belum ada di zaman Nabi ﷺ.
Maka jika seseorang memahami kaidah لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “tidak boleh memadharati diri sendiri maupun orang lain”, maka ia akan mengetahui haramnya menggunakan barang-barang tersebut, karena hal itu menimbulkan madharat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Demikian pula tentang haramnya merokok masuk juga dalam penerapan kaidah ini karena menghisap rokok menyebabkan madhorot dan bahaya baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih berkata, “Sesungguhnya kaidah-kaidah fiqih membantu para qodhi, mufti, dan hakim untuk mencari dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapkan kepadanya, dan juga permasalahan kontemporer yang datang, dengan cara dan metode yang paling mudah.” [7]Al ‘Iqd Ats-Tsamin Syarh Manzhumah Ibn ‘Utsaimin fi Ushul Al Fiqh wa Qowa’idihi, Fadhilatu Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, Maktabah Al Imam Az-Dzahabi lin Nasyr wa At-Tauzi’, … Continue reading
Kitab-kitab Terpenting dalam Qawa’id Fiqhiyyah
Tulisan dan karya para ulama’ dalam ilmu Qawa’id Fiqhiyyah sangatlah banyak. Berikut ini sebagian kitab yang terpenting sesuai dengan masing-masing madzhab [8]Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, ‘Ali Ahmad An-Nadawiy, Dar Al Qalam, Damasakus, Cetakan Ketiga, 1414 H, Hlm. 162-262. :
Kitab-kitab dalam Madzhab Hanafiyah :
- Risalah fil Ushul, karya Abul Hasan Al Karkhi (wafat tahun 340 H)
- Ta’sis An-Nazhor, karya Abu Zaid Ad-Dabusi (wafat tahun 430 H)
- Al Asybah wa An-Nazhair, karya Ibnu Nujaim (wafat tahun 970 H)
- Khatimah Majami’ Al Haqaiq, karya Abu Sa’id Al Khazimi (wafat tahun 1176 H)
- Qawa’id Majallah Al Ahkam Al ‘Adliyyah, karya sekumpulan ulama’ Daulah ‘Utsmaniyyah (tahun 1292 H)
- Al Faraid Al Bahiyyah fil Qawa’id wal Fawaid Al Fiqhiyyah, karya Abu Hamzah Al Husaini (wafat tahun 1305 H)
Kitab-kitab dalam Madzhab Malikiyah :
- Ushul Al Futya, karya Muhammad bin Harits Al Khusyani (wafat tahun 361 H)
- Al Furuq, karya Abul ‘Abbas Al Qorrofi (wafat tahun 684 H)
- Al Qawa’id, karya Muhammad bin Muhammad Al Maqqori (wafat tahun 758 H)
- Idhohul Masalik Ila Qawa’idi Al Imam Malik, karya Ahmad bin Yahya Al Wansyarisi (wafat tahun 914 H)
Kitab-kitab dalam Madzhab Syafi’iyah :
- Qawa’id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, karya Al ‘Izz bin Abdissalam (wafat tahun 660 H)
- Al Asybah wa An-Nazhoir, karya Ibnu Al Wakil (wafat tahun 716 H)
- Al Majmu’ Al Mudzhab fi Qawa’id Al Madzhab, karya Abu Sa’id Al ‘Ala’iy (wafat tahun 761 H)
- Al Asybah wa An-Nazhair, karya Tajuddin Abdul Wahhab As-Subki (wafat tahun 771 H)
- Al Mantsur fi Al Qawa’id, karya Badruddin Az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H)
- Al Asybah wa An-Nazhair, karya Ibnul Mulaqqin (wafat tahun 804 H)
- Al Qawa’id, karya Abu Bakr Al Hishni (wafat tahun 829 H)
- Al Asybah wa An-Nazhair, karya Jalaluddin As-Suyuthi (wafat tahun 911 H)
Kitab-kitab dalam Madzhab Hanabilah :
- Al Qawa’id An-Nuraniyyah Al Fiqhiyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat tahun 728 H)
- Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, karya Ibn Qadhi Al Jabal (wafat tahun 771 H)
- Taqrir Al Qawa’id wa Tahrir Al Fawaid, karya Ibnu Rojab Al Hambali (wafat tahun 795 H)
- Al Qawa’id Al Kulliyyah wa Ad-Dhowabith Al Fiqhiyyah, karya Ibnu ‘Abdil Hadi (wafat tahun 909 H)
- Qawa’id Majallah Al Ahkam As Syar’iyyah ‘ala Madzhab Al Imam Ahmad bin Hambal, karya Ahmad Al Qariy (wafat tahun 1359 H)
Demikian artikel ilmiyah Pengantar Qawa’id Fiqhiyyah bagian Kedua. Untuk pembahasan sebelumnya bisa mengunjungi halaman Pengantar Qawa’id Fiqhiyyah bagian Pertama. Wallahu ta’ala a’lam bi shawab.
Penulis
Abu Muslim Nurwan Darmawan, B.A.
Referensi
1 | Penjelasan tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini bisa dilihat dalam kitab Al Wajiz fi Idhohi Qawa’id Al Fiqh Al Kulliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Keempat, 1416 H, hlm. 38-43. |
---|---|
2 | Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqoh bil Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, hlm. 23-27. |
3 | Syaikh Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari berkata, “Apabila suatu kaidah bersandar kepada nash syar’i dari Al-Kitab, As-Sunnah, atau ijma’, maka kaidah tersebut bisa dijadikan hujjah, akan tetapi bukan karena keberadaannya sebagai kaidah fiqih, namun karena keberadaannya bersandar kepada dalil naqli.” (Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 65). |
4 | Syaikh Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari berkata, “Kaidah fiqih bisa dijadikan hujjah ketika tidak ada dalil naqli dalam permasalahan yang dibahas, akan tetapi dipersyaratkan orang yang berdalil dengannya itu adalah seorang faqih yang kuat keilmuannya, dan mengetahui manakah perkara-perkara yang masuk dalam cakupan kaidah tersebut, dan mana yang termasuk pengecualiannya.” (Al Mumti’ fi Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, Dr. Musallam bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, Dar Zidni, Riyadh, Cetakan Pertama, 1428 H, Hlm. 65). |
5 | Lihat Al Wajiz fi Idhohi Qawa’id Al Fiqh Al Kulliyah, Dr. Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Al Burnu, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Cetakan Keempat, 1416 H, hlm. 24. |
6 | Al Qawa’id Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqoh bil Buyu’, Syaikh Sulaiman bin Salimillah Ar-Ruhailiy, Dar Al Mirots An-Nabawiy, Cetakan Pertama, 1436 H, Hlm. 18. |
7 | Al ‘Iqd Ats-Tsamin Syarh Manzhumah Ibn ‘Utsaimin fi Ushul Al Fiqh wa Qowa’idihi, Fadhilatu Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, Maktabah Al Imam Az-Dzahabi lin Nasyr wa At-Tauzi’, Kuwait, Cetakan Kedua, 1436 H, Hlm. 23. |
8 | Lihat Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, ‘Ali Ahmad An-Nadawiy, Dar Al Qalam, Damasakus, Cetakan Ketiga, 1414 H, Hlm. 162-262. |