Akhlaq: Berbakti Kepada Kedua Orang Tua #2

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua bagian kedua

Bersambung dari Berbakti Kepada Kedua Orang Tua bagian Pertama

Dari Bahzin bin Hakiim, dari ayahnya dari kakeknya, beliau berkata : Aku bertanya kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam :

يا رسولَ اللهِ مَنْ أَبَرُّ ؟ قال   أمَّكَ  قلتُ ثمَّ مَنْ ؟ قال : أمَّكَ . قلتُ : ثمَّ مَنْ ؟ قال : أمَّكَ . قلتُ : ثم مَنْ ؟ قال : أباك ثمَّ الأقربَ فالأقربَ

Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya.[1]HR. Abu Dawud no. 5139 dan Tirmidzi no. 1897 dan di hasankan oleh Syaikh Alalbani

Di dalam hadits ini terdapat dorongan agar berbakti kepada seorang ibu. Hadits ini juga menganjurkannya dan menjelaskan hak yang khusus yang Allah ta’ala jadikan lebih utama untuk seorang ibu dibandingkan untuk seorang ayah. Hal ini disebabkan seorang ibu lebih utama tiga kali dibandingkan dengan seorang ayah dan ini menunjukkan akan tambahan kekhususan bagi seorang ibu. Dikarenakan penderitaan, kepayahan dan kesungguhan serta perjuangan yang dialami oleh seorang ibu saat adanya seorang anak tidak didapati ada pada seorang ayah apalagi selainnya.

Maka lihatlah sahabat yang mulia ini. Beliau bertanya kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang berhak dan orang yang utama untuk berbuat baik kepadanya. Dan perhatian seseorang terhadap perkara utama dalam hal amalan adalah perkara yang mulia dalam bidang ilmu. Dan apabila seorang hamba tidak mencari taufiq agar mendapatkannya maka terkadang ia akan sibuk dengan perkara-perkara yang lebih remeh dari selainnya dan meninggalkan perkara-perkara yang lebih besar dan penting yang seharusnya dia sibuk dengannya.

Dan sungguh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan tiga tingkatan yang dimiliki oleh seorang ibu. Dan ketika seorang sahabat Nabi ini mengulangi pertanyaannya adalah agar ia mengetahui siapa lagi yang berhak mendapatkan tambahan kekhususan kebaikan darinya dan ternyata itu semua milik seorang ibu kemudian dipertanyakan yang keempat barulah haknya seorang ayah.

Maka dalam hal ini terdapat penekanan terhadap besarnya kedudukan seorang ibu dan sekaligus menjadi orang paling berhak diberikan kebaikan untuknya. Oleh karena itu ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menyebutkan di dalamnya wasiat agar berbakti kepada kedua orang tua seluruhnya menyebutkan penderitaan seorang ibu dan tidak menyebutkan penderitaan seorang ayah. Karena penderitaan seorang ibu ketika adanya seorang anak tidak didapatkan pada seorang ayah.

Diantara ayat-ayat itu adalah firman Allah ta’ala :

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…” [2]QS. Al-Ahqaf: 15

Dan juga firman-Nya :

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Ku kalian akan kembali.” [3]Luqman : 14

Jika seseorang mau memperhatikan dua ayat diatas maka ia akan melihat pada kedua ayat tersebut adanya tanbih (peringatan) terhadap makna ini. Yaitu bahwa seorang ini mengalami tiga keadaan yang sulit yang tidak dialami seorang ibu, yaitu ketika beratnya hamil, kerasnya perjuang saat melahirkan dan penderitaan saat menyusui.

Kemudian di dalam dua ayat diatas juga ada peringatan penting untuk tujuan mewujudkan birrul walidain yaitu mengingat kebaikan keduanya di masa lampau dan kebaikan yang bisa terwujud dari orang tua terlebih secara khusus kebaikan seorang ibu. Dengan mengingat itu semua akan membantu dalam mewujudkan birrul walidain dan melupakan serta meremehkannya maka akan membawa kepada kedurhakaan.

Oleh karena itu, dikalangan manusia terkadang ada orang yang mampu bermuamalah dengan baik kepada teman-temannya, mampu berbicara lembut dan sangat beradab. Namun di saat bersama orang tuanya dia tidak mampu bermuamalah dengan baik, tidak mampu bersikap lembut dan sopan padahal keduanya adalah orang yang paling berhak mendapatkan adab-adab baik darinya.

Adapun sabda Nabi : “lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya”. Maka hal ini menjadi peringatan agar seseorang memiliki perhati kepada hak kerabat yaitu yang lebih dekat lalu yang seterusnya. Apabila seorang ibu lebih berhak mendapatkan kebaikan daripada sang ayah, maka dari sisi kekerabatan ada riwayat dari Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِّ

“Bibi (dari sisi ibu) itu kedudukanya seperti ibu.” [4]HR. Abu Daud 2278 dan dishahihkan al-Albani). Maka bagi bibi adalah hak khusus juga baginya.

Dan termasuk keajaiban perkara ini adalah bahwa seorang bibi memiliki perhatian besar, sering mengikuti perkembangan dan sering bertanya tentang keadaan anak-anak saudarinya. Dan jika kerabatnya ini miskin maka ia akan membantu dalam hal pendidikan dan kebaikan saudarinya bahkan ia merasa bahwa anak-anak itu seperti anak-anaknya sendiri.

Dari Atha bin Yassar, ia berkata:

عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mau menikah dengannya. Aku pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain.” [5]HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan di shahihkan oleh Syaikh Al Albani

Ini adalah atsar yang agung yang menjelaskan paling berhaknya seorang ibu dalam birrul walidain dan berbuat baik kepadanya. Dan karena besarnya perkara ini serta pentingnya birrul walidain terutama kepada seorang ibu maka hal ini dapat menggugurkan dosa, menghapus kejelekan dan meraih ridho Allah ta’ala.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ لَهُ وَالِدَانِ مُسْلِمَانِ يُصْبِحُ إِلَيْهِمَا مُحْتَسِبًا إِلَّا فَتَحَ لَهُ اللهُ بَابَيْنِ يَعْنِى مِنَ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ وَاحِدٌ فَوَاحِدٌ وَإِنْ اغْضَبَ أَحَدُهُمَا لَمْ يَرْضَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ قِيْلَ وَإِنْ ظَلَمَاهُ قَالَ وَإِنْ ظَلَمَاهُ

Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma. Dia berkata,  “Tidaklah seorang muslim yang memiliki kedua orang tua yang muslim, berjalan menuju keduanya dengan penuh kegembiraan dengan niat mencari pahala dari Allah melainkan Allah akan bukakan baginya dua pintu surga. Jika orang tuanya tinggal satu orang maka baginya akan dibukakan satu pintu surga. Jika salah satu dari kedua orang tuanya marah maka Allah tidak akan ridho kepadanya hingga orang tuanya ridho kepadanya”. Lalu ada yang bertanya, ‘Walaupun keduanya berbuat zholim kepadamu?’ Beliau menjawab, “Walaupun keduanya menzholimimu.”[6]HR. Al Bukhari dalam kitab Al adabul Mufrod hal. 16

Maka kewajiban bagi seorang anak adalah berbakti kepada kedua orang tuanya, mencegah kemurkaan keduanya, tidak berbuat jelek kepada keduanya serta mengangkat suara atas suara keduanya sekalipun keduanya berbuat dholim.

Dari Thaisalah bin Mayyas, ia berkata :

كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ ، فَأَصَبْتُ ذَنُوْبًا لاَ أَرَاهَا إِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَالِكَ ِلابْنِ عُمَرَ. قاَلَ: مَا هِىَ؟ قلُتْ:ُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ الْكَبَائِرِ، هُنَّ تِسْعٌ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نِسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَإِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِيْ يَسْتَسْخِرُ ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ مِنَ الْعُقُوْقِ، قاَلَ: لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتَفَرَّقُ النَّارَ ، وَتُحِبُّ أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: إِيْ، وَاللهِ! قَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟ قُلْتُ: عِنْدِيْ أُمِّىْ. قَالَ: فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ، وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ، لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتَنَبْتَ الْكَبَائِرَ.

“Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya, ”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” Saya pun menceritakan perbuatan itu. Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim, berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan (menyebabkan) tangisnya kedua orang tua karena durhaka (kepada keduanya).” Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.”[7]HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih. Lihat Ash Shahihah 2898

Di dalam atsar yang agung ini terdapat faidah yang besar terkait birrul walidain. Dan An Najadaat adalah salah satu firqoh (kelompok) sesat dari sekte Khowarij. Dan syahid dari atsar ini adalah agung dan mulianya berbakti kepada seorang ibu, berlemah lembut dalam bertutur kata dan berbuat baik kepadanya serta semuanya ini termasuk sebab yang dapat memasukkan seseorang ke dalam Surga.

Referensi Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzohullahu ta’ala halaman 28 – 36.

Disusun oleh Ahmad Imron Al Fanghony

Artikel Alukhuwah.Com

Referensi

Referensi
1 HR. Abu Dawud no. 5139 dan Tirmidzi no. 1897 dan di hasankan oleh Syaikh Alalbani
2 QS. Al-Ahqaf: 15
3 Luqman : 14
4 HR. Abu Daud 2278 dan dishahihkan al-Albani). Maka bagi bibi adalah hak khusus juga baginya.
5 HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan di shahihkan oleh Syaikh Al Albani
6 HR. Al Bukhari dalam kitab Al adabul Mufrod hal. 16
7 HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih. Lihat Ash Shahihah 2898
Back to top button