Akhlaq: Berbakti Kepada Ibu #2
Dari artikel sebelumnya yaitu Berbakti Kepada Ibu bagian Pertama. Maka kesempatan kali ini akan melanjutkan pembahasan tentang Berbakti Kepada Ibu bagian Kedua.
عَنْ أَبِى كَثِيرٍ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنِى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ أَدْعُو أُمِّى إِلَى الإِسْلاَمِ وَهِىَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِى فِى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أَبْكِى قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى كُنْتُ أَدْعُو أُمِّى إِلَى الإِسْلاَمِ فَتَأْبَى عَلَىَّ فَدَعَوْتُهَا الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِى فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَهْدِىَ أُمَّ أَبِى هُرَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِى هُرَيْرَةَ »
Dari Abu Kasir, Yazid bin Abdurrahman, Abu Hurairah bercerita kepadaku, “Dulu aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam ketika dia masih musyrik.”
“Suatu hari, aku mendakwahinya, namun dia malah memperdengarkan kepadaku cacian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tentu merupakan kalimat-kalimat yang tidak kusukai untuk kudengar.
Akhirnya aku pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil menangis. Ketika telah berada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam aku berkata,
‘Ya Rasulullah, sungguh aku berusaha untuk mendakwahi ibuku agar masuk Islam, namun dia masih saja menolak ajakanku. Hari ini kembali beliau aku dakwahi, namun dia malah mencaci dirimu. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu Hurairah.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berdoa, ‘Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu dari Abu Hurairah.'”
فَخَرَجْتُ مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذَا هُوَ مُجَافٌ فَسَمِعَتْ أُمِّى خَشْفَ قَدَمَىَّ فَقَالَتْ مَكَانَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ. وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ – فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ دِرْعَهَا وَعَجِلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتِ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Kutinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan gembira karena Nabi mau mendoakan ibuku. Setelah aku sampai di depan pintu rumahku, ternyata pintu dalam kondisi terkunci.
Ketika ibuku mendengar langkah kakiku, beliau mengatakan, ‘Tetaplah di tempatmu, hai Abu Hurairah.’ Aku mendengar suara guyuran air. Ternyata ibuku mandi. Setelah selesai mandi beliau memakai jubahnya dan segera mengambil kerudungnya lantas membukakan pintu.
Setelah pintu terbuka, beliau mengatakan, ‘Hai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusannya.'”
قَالَ – فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَيْتُهُ وَأَنَا أَبْكِى مِنَ الْفَرَحِ – قَالَ – قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبْشِرْ قَدِ اسْتَجَابَ اللَّهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِى هُرَيْرَةَ. فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ خَيْرًا – قَالَ – قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُحَبِّبَنِى أَنَا وَأُمِّى إِلَى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ وَيُحَبِّبَهُمْ إِلَيْنَا – قَالَ – فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اللَّهُمَّ حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هَذَا – يَعْنِى أَبَا هُرَيْرَةَ وَأُمَّهُ – إِلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمُ الْمُؤْمِنِينَ ». فَمَا خُلِقَ مُؤْمِنٌ يَسْمَعُ بِى وَلاَ يَرَانِى إِلاَّ أَحَبَّنِى
“Mendengar hal tersebut, aku bergegas kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menemui beliau dalam keadaan menangis karena begitu gembira.
Kukatakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, bergembiralah. Sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan telah memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu Hurairah.’
Mendengar hal tersebut beliau memuji Allah dan menyanjungnya lalu berkata, ‘Bagus.’
Lantas kukatakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, doakanlah aku dan ibuku agar menjadi orang yang dicintai oleh semua orang yang beriman dan menjadikan kami orang yang mencintai semua orang yang beriman.’
Beliau pun mengabulkan permintaanku. Beliau berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini, yaitu Abu Hurairah dan ibunya, orang yang dicintai oleh semua hambaMu yang beriman dan jadikanlah mereka berdua orang-orang yang mencintai semua orang yang beriman.’
Karena itu, tidak ada seorang mukmin pun yang mendengar tentang diriku ataupun melihat diriku kecuali akan mencintaiku.” (HR Muslim no. 2491) [1]HR Muslim no. 2491
Sesungguhnya di antara bentuk berbakti yang besar kepada kedua orang tua adalah ketika keduanya atau salah satunya berada di dalam kekafiran, lalu diajak untuk masuk Islam, berusaha keras agar mendapatkan hidayah Islam dan dan bersungguh-sungguh mengajaknya.
Sungguh Allah telah menjadikan Abu Hurairah sebagai sebab masuk Islamnya sang ibu. Dan saat itu, Abu Hurairah benar-benar telah bersungguh-sungguh di dalam mendakwahi ibunya tercinta. Dan dalam hal ini, beliau telah menempuh dua jalan.
Pertama, beliau terus mendakwahi ibunya, menerangkan Islam, mengajaknya dengan menjelaskan amalan-amalan baik, menerangkan hukum-hukumnya dan juga akidah-akidahnya.
Kedua, berdoa untuk ibunya agar mendapatkan hidayah. Karena hidayah ada di tangan Allah, sehingga ketika itu, beliau terus berdoa kepada Allah agar memberikan hidayah kepada ibunya. Lalu Allah memuliakan beliau dan memberikan hidayah kepada ibunya sehingga masuk Islam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,
إِذَا مَاتَ ابن آدم الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثلاث ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal, maka terputus darinya semua amalan kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)[2]HR. Muslim no. 1631
Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ – عز وجل – لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla benar-benar akan mengangkat derajat seorang hamba shalih di surga. Lantas hamba itu berkata, ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana aku mendapatkan derajat ini?’
Maka Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman, ‘Dengan sebab istighfar (permohonan ampun) anakmu untukmu.” (HR. Ahmad 10618, Ibnu majah 3660, Shahiih al-Jaami’ 1617, as–Shahiihah 1598)[3]HR. Ahmad 10618, Ibnu majah 3660, Shahiih al-Jaami’ 1617, as–Shahiihah 1598
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa ada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ، إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا»
“Ibuku meninggal secara mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Saya yakin, andaikan beliau sempat berbicara, beliau akan bersedekah.
Apakah beliau akan mendapat aliran pahala, jika saya bersedekah atas nama beliau?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya. Bersedekahlah atas nama ibumu.” (HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004)[4]HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Ada seorang wanita dari Juhainah yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Ibuku pernah bernadzar melakukan ibadah haji, namun beliau tidak melaksanakannya sampai meninggal, apakah saya boleh menghajikannya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ya, hajikanlah ia! Bagaimana pendapatmu, jika ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah engkau akan membayarnya, Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, 1/239-240; Imam Bukhari, 2/217-218, 7/233-234, 8/150; an Nasa’I, 5/116, hadits no. 2632; ad-Daarimi, 2/24, 183)[5]Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, 1/239-240; Imam Bukhari, 2/217-218, 7/233-234, 8/150; an Nasa’I, 5/116, hadits no. 2632; ad-Daarimi, 2/24, 183
Di dalam hadits-hadits di atas terdapat dalil, bahwa mendoakan kedua orang tua, demikian pula bersedekah aas nama keduanya, demikian pula haji dan umroh bagi keduanya akan dapat memberikan manfaat bagi keduanya setelah keduanya tidak ada (wafat).
Di mana pada kondisi ini keduanya sudah tidak bisa lagi beramal dan ini merupakan bentuk berbakti yang besar dan harus ditekankan setelah keduanya wafat.
Dari Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya (yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh) bahwa beberapa ayat Al-Qur’an turun padanya. Dia berkata,
حَلَفَتْ أُمُّ سَعْدٍ أَنْ لاَ تُكَلِّمَهُ أَبَدًا حَتَّى يَكْفُرَ بِدِينِهِ وَلاَ تَأْكُلَ وَلاَ تَشْرَبَ. قَالَتْ زَعَمْتَ أَنَّ اللَّهَ وَصَّاكَ بِوَالِدَيْكَ وَأَنَا أُمُّكَ وَأَنَا آمُرُكَ بِهَذَا. قَالَ مَكَثَتْ ثَلاَثًا حَتَّى غُشِىَ عَلَيْهَا مِنَ الْجَهْدِ فَقَامَ ابْنٌ لَهَا يُقَالُ لَهُ عُمَارَةُ فَسَقَاهَا فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَى سَعْدٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى الْقُرْآنِ هَذِهِ الآيَةَ (وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا) (وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِى) وَفِيهَا (وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا)
“Ummu Sa’ad (Ibunya Sa’ad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum.
Ibunya mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad).’”
Sa’ad mengatakan, “Lalu Ummu Sa’ad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama ‘Umarah, lantas memberi minum padanya, tetapi ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Sa’ad. Lalu Allah menurunkan ayat,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya.” (QS. Al-‘Ankabut: 8)[6]QS. Al-‘Ankabut: 8
Dan juga ayat,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku.” (QS. Lukman: 15)[7]QS. Lukman: 15,
yang di dalamnya terdapat firman Allah,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Lukman: 15)[8]QS. Lukman: 15.
Lalu beliau menyebutkan lanjutan hadits. (HR. Muslim, no. 1748)[9]HR. Muslim, no. 1748
Jadi, sekalipun orang tua mengajak kepada kesyirikan, seorang anak masih tetap diperintahkan untuk bergaul dengan baik terhadap orang tua.
Jika secara syar’i, anak tetap harus berbuat baik kepada orang tua yang masih melakukan kesyirikan, lalu bagaimana lagi jika orang tua adalah orang yang beriman, taqwa, berilmu, sholih, rajin sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya?
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata,
أتتني أمي راغبة، في عهد النبي صلى الله عليه وسلم، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم: أصِلُها؟ قال: “نعم”
“Ibuku mendatangiku di masa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dalam keadaan membenci Islam. Lalu aku menanyakan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, ”Apakah aku boleh menjalin hubungan dengannya?” Beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun menjawab, ”Iya boleh.”
Ibnu ’Uyainah mengatakan,
فأنزل الله عز وجل فيها: ? لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ? [ الممتحنة: 8]
“Tatkala itu turunlah firman Allah ’azza wa jalla mengenai Asma’ (yang artinya), ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.” (QS. Al Mumtahanah: 8)[10]QS. Al Mumtahanah: 8.” (Shahih ; Lihat Shohih Abi Dawud 1468, Bukhari: 51-Kitab Al Hibbah, 29-Bab Al Hadiyyatu lil Musyrikin. Muslim: 12-Kitab Az Zakah, hal. 49-50)[11]Shahih ; Lihat Shohih Abi Dawud 1468, Bukhari: 51-Kitab Al Hibbah, 29-Bab Al Hadiyyatu lil Musyrikin. Muslim: 12-Kitab Az Zakah, hal. 49-50
Hadits ini menjelaskan bahwa jika seorang ibu masih dalam kemusyrikan, maka tetap diperintahkan agar disambung hubungan kekerabatan dan keluarga bahkan agar tetap berbuat baik juga dalam hal bergaul.
Namun, semua ini bukan berarti menafikan berlepas dirinya kita dari kesyirikan. Silakan berlepas diri dari kesyirikan dari agamanya, namun tetap lakukanlah hubungan kekerabatan dan kekeluargaan itu dan tetaplah berbuat baik dengan berharap adanya hidayah untuknya.
Di dalam ayat yang mulia, surat Al mumtahanah ayat 8 di atas juga menjelaskan, bahwa jika bapak atau ibu, bahkan keumuman orang-orang Musyrikin tidak memerangi kaum Muslimin, maka boleh hukumnya berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka.
Dan Allah tidak melarang akan hal ini, dan tidak diragukan lagi bahwa jika orang-orang kafir melihat sikap yang baik ini, bisa jadi sebagai sebab masuknya mereka ke dalam agama Islam.
Bahkan sebab kebanyakan orang-orang kafir masuk Islam adalah karena melihat adab yang indah dan bagusnya kaum Muslimin dalam bermuamalah.
Referensi:
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzohullahu ta’ala halaman 45 – 51
Diringkas oleh Ahmad Imron Al Fanghony
Artikel Alukhuwah.Com
Referensi
1 | HR Muslim no. 2491 |
---|---|
2 | HR. Muslim no. 1631 |
3 | HR. Ahmad 10618, Ibnu majah 3660, Shahiih al-Jaami’ 1617, as–Shahiihah 1598 |
4 | HR. Bukhari 1388 dan Muslim 1004 |
5 | Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, 1/239-240; Imam Bukhari, 2/217-218, 7/233-234, 8/150; an Nasa’I, 5/116, hadits no. 2632; ad-Daarimi, 2/24, 183 |
6 | QS. Al-‘Ankabut: 8 |
7, 8 | QS. Lukman: 15 |
9 | HR. Muslim, no. 1748 |
10 | QS. Al Mumtahanah: 8 |
11 | Shahih ; Lihat Shohih Abi Dawud 1468, Bukhari: 51-Kitab Al Hibbah, 29-Bab Al Hadiyyatu lil Musyrikin. Muslim: 12-Kitab Az Zakah, hal. 49-50 |