Akhlaq: Hak-hak Tetangga (Bagian Kedua)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فلا يُؤْذِي جارَهُ، ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أوْ لِيسْكُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya dia berkata baik jika tidak bisa hendaknya dia diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47) [1]HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47
Dari Abu Syuraih Al Khuzaa’y radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إلى جارِهِ، ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أوْ لِيَسْكُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya dia berkata baik jika tidak bisa hendaknya dia diam.” (HR. Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48) [2]HR. Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keimanan kepada Allah yang mana Dia-lah Dzat yang di maksud dalam setiap amal, Dia-lah sesembahan yang berhak disembah dan Dia-lah tempat bergantung serta berharap kepada-Nya Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebutkan keimanan kepada hari akhir, hari pembalasan dan perhitungan serta hari menuai pahala dari suatu amal. Allah berfirman :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (Az-Zalzalah : 7–8)[3]Az-Zalzalah : 7–8
Dalam hal ini, terdapat peringatan bahwa jika hati itu dipenuhi dengan dua dasar ini maka akan menjadikan anggota tubuh menjadi baik dan semakin taat kepada Allah ta’ala.
Realisasi Hak-hak Tetangga
Pertama, Agar seseorang memperhatikan tetangga dan berbuat baik kepadanya. Kedua kalimat ini terdapat dari dalil-dalil yang ada dan keduanya merupakan dua perkara besar yang dituntut seorang Muslim memiliki perhatian terhadapnya. Dan perkara ini tidak terbatas satu jenis kebaikan saja bahkan mencakup seluruh kebaikan dan kemuliaan kepada tetangga. Agar hal itu menjadi pintu saling berlomba-lombanya diantara para tetangga sesuai dengan kemudahan dirinya. Semakin banyak kebaikan yang diberikan akan semakin banyak pula pahala dari Allah ta’ala.
Kedua, agar seseorang bersemangat untuk tidak melakukan perbuatan menyakiti tetangga. Baik menyakiti dengan perbuatan maupun menyakiti dengan ucapan. Karena yang demikian ini termasuk sikap menyepelekan hak tetangga dan berbuat jelek kepadanya serta menyiapkan diri untuk menerima hukuman dari Allah ta’ala.
Apabila seorang hamba menginginkan sebuah kepercayaan dalam bab ini, maka hendaknya dia menyukai dan melihat muamalah jenis apa yang diinginkan tetangganya, lalu bermuamalah dengan cara itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فمَن أحَبَّ أنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النّارِ، ويُدْخَلَ الجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وهو يُؤْمِنُ باللهِ واليَومِ الآخِرِ، ولْيَأْتِ إلى النّاسِ الذي يُحِبُّ أنْ يُؤْتى إلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin untuk selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga, maka hendaknya ketika ajal mendatanginya ia dalam kondisi beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan ia bersikap kepada manusia dengan sikap yang suka diperlakukan kepadanya” (HR. Muslim no. 1844) [4]HR. Muslim no. 1844
عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ”
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) [5]HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45
وَعَنْ أَنَسٍ – رضي الله عنه – عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ – أَوْ لِأَخِيهِ- مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai tetangganya atau saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45) [6]HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Muslim no. 46, Ahmad no. 8638, Al Bukhari no. 7818). [7]HR. Muslim no. 46, Ahmad no. 8638, Al Bukhari no. 7818
Abu Syuraih radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46) [8]HR. Bukhari 6016, Muslim 46
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ قَالُوْا وَمَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ الجَارُ، جَارٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قَالُوْا فَمَا بَوَائِقُهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ شَرُّهُ
“Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman. Maka para sahabat bertanya: kenapa ya Rasulullah? Maka Nabi mengatakan: Tetangga, seorang tetangga yang tidak merasakan aman tetangga lainnya karena gangguannya. Mereka bertanya, : Seperti apa gangguannya, maka Rasulullah menjawab: berupa kejelekannya”. (HR. Al-hakim dalam Mustadrak: 21 dan Ahmad no. 7878. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala dalam shahih targhib dan tarhib no. 2550) [9]HR. Al-hakim dalam Mustadrak: 21 dan Ahmad no. 7878. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala dalam shahih targhib dan tarhib no. 2550
Berbuat Jahat kepada Tetangga termasuk Dosa Besar
Sungguh dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan (meniadakan) iman dari orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya. Selain itu beliau juga memperingatkan akan balasan berupa tidak masuknya tetangga jelek itu kedalam Surga, menunjukkan akan besar dan agungnya hak tetangga. Dan Nabi juga menyebutkan bahwa berbuat jahat kepada tetangga termasuk dosa besar. Jika tetangga meras takut akan gangguan tetangga yang jelek saja ancamannya demikian, lalau bagaimana jika tetangga itu benar-benar mengganggu dengan berbuat jahat dan menjadikan tetangga lainnya tidak nyaman?
عن عبدالله بن مسعودٍ: قال رجلٌ: يا رسول الله، أي الذنب أكبر عند الله؟ قال: أن تدعو لله ندًّا وهو خلَقك، قال: ثم أي؟ قال: أن تقتل ولدَك خَشْيَةَ أن يطعَمَ معك، قال: ثم أي؟ قال: أن تزانيَ بِحليلة جارك، فأنزل الله عز وجل تصديقها: ﴿وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا﴾ [الفرقان: 68]
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam : Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?? Beliau menjawab : “Kamu berdoa kepada tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakanmu”. Lalu apa lagi? Beliau menjawab: “Kamu membunuh anakmu karena kamu khawatir dia akan ikut makan bersamamu”. Lalu laki-laki itu betanya lagi : lalu apalagi?? Beliau menjawab : “Kamu berbuat zina dengan istri tetanggamu”. Maka Allah pun menurunkan pembenarannya :
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)”. (Al Furqon : 68)”. (HR. Bukhari no. 6861 dan Muslim no. 86) [10]HR. Bukhari no. 6861 dan Muslim no. 86
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullahu ta’ala : “Tidaklah berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dibandingkan berzina dengan istrinya. Jika dibandingkan, berzina dengan 100 wanita tanpa suami lebih ringan dosanya dibandingkan dengan berzina dengan seorang istri dari tetangga. Jika si tetangga adalah saudara sendiri atau salah seorang kerabat dari Kerabat-kerabatnya, maka berkumpullah dalam perbuatan itu dorongan untuk terputusnya hubungan kekerabatan dan dosanya semakin bertambah”. (Al Jawaabul Kaafi 1/112) [11]Al Jawaabul Kaafi 1/112
Kaitan Iman kepada Allah dan hari akhir dengan memuliakan tetangga
Dari Miqdad bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabatnya :
ما تقولونَ في الزِّنا؟ قالوا : حرَّمَه اللَّهُ ورسولُهُ فَهوَ حرامٌ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ. قال لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرَةِ نِسْوَةٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. فَمَا تقولونَ في السَّرقةِ؟ قالوا : حرامٌ حرَّمَها اللَّهُ قال لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ جَارِهِ
“Apa yang kalian ketahui tentang zina?? Para sahabat menjawab : Zina adalah perkara yang Allah haramkan dan zina hukumnya haram sampai hari Kiamat. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Seseorang yang berzina dengan 10 wanita, dosanya lebih ringan dibandingkan dia berzina dengan satu orang dari istri tetangganya.
Lalu Nabi bertanya lagi : “Apa yang kalian ketahui tentang mencuri?? Para sahabat menjawab : Mencuri adalah perkara yang Allah haramkan dan mencuri hukumnya haram. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Seseorang yang mencuri di 10 rumah, dosanya lebih besar dibandingkan dia mencuri satu rumah dsdi tetangganya.” (HR. Ahmad 23854 dan Bukhari no. 103 di kitab Adabul Mufrad serta dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala dan Syuaib Al-Arnauth mengatakan, sanadnya bagus).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi bertanya kepada mereka (para sahabat) tentang zina, padahal mereka sudah mengetahui sebelumnya hukum dari zina, namun beliau lakukan ini untuk memberikan pengertian akan keharaman dan bahayanya zina serta sebagai tanbih (peringatan) akan pentingnya perkara tersebut. Hal itu juga dikarenakan tetangga memiliki kehormatan, hak dan penjagaan yang Allah jadikan di dalam kitabNya dan apa yang diwasiatkan Jibril ‘alaihis salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan puncaknya wasiat.
Dalam hadits ini Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengaitkan antara keimanan kepada Allah dan hari akhir dengan memuliakan tetangga, berbuat baik dengan tetangga, menjaga kehormatannya dan melindunginya. Bahkan seandainya ada seseorang yang ingin merusaknya maka dialah orang pertama yang akan membelanya.
Secara asal, tetangga yang Muslim akan merasa aman tetangga yang lain dari gangguannya, dia harus menjadikan tetangganya merasa aman dalam hal kehormatan dan hartanya. Secara asal tetangga Muslim harus menciptakan rasa aman kepada tetangganya. Dan hal itu bisa terjadi saat tetangga masuk rumah, keluar rumah bahkan jika ada yang berani melampaui batas terhadap kehormatan tetangganya. Dan jelas hal ini berbeda bila jarak tetangga itu berjauhan, sehingga ketika terjadi pelanggaran kehormatan, agak sulit untuk menolongnya.
Apabila istri tetangga adalah salah satu dari keluarga kita (masih memiliki hubungan silaturahim) maka terkumpullah tiga perkara : hak tetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Sehingga dosanya akan semakin besar disisi Allah jika melanggarnya.
Tiga (3) Macam Tetangga
Oleh karena itu, datang sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang di dalam sanadnya terdapat perbincangan ulama akan tetapi maknanya benar, bahwasanya beliau berkata :
الجِيْرَانُ ثَلَاثَةٌ : فَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوْقٍ , وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ حَقَّانِ, وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ حَقٌّ , فَأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوْقٍ , فَالجَارُ المُسْلِمُ القَرِيْبُ , لَهُ حَقُّ الجِوَارِ , حَقُّ الإِسْلَامِ و حَقُّ القُرَابَةِ , وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقَّانِ , فَالجَارُ المُسْلِمُ , لَهُ حَقُّ الجِوَارِ , و حَقُّ الإِسْلَامِ, وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ , فَالجَارُ الكَافِرُ لَهُ حَقُّ الجِوَارِ
“Tetangga itu ada tiga macam : diantara mereka ada tetangga yang memiliki tiga hak, ada juga dari mereka yang memiliki dua hak dan ada diantara mereka yang hanya memiliki satu hak. Adapun tetangga yang memiliki tiga hak maka dia adalah tetangga yang Muslim dan memiliki hubungan kekerabatan. Maka baginya hak sebagai tetangga, hak sebagai seorang Muslim dan hak sebagai kerabat. Adapun tetangga yang memiliki dua hak maka dia adalah tetangga yang Muslim. Dia memiliki hak sebagai tetangga dan hak sebagai seorang Muslim. Sedangkan tetangga yang hanya memiliki satu hak, maka dia adalah tetangga Kafir. Baginya hanya satu hak yaitu hak sebagai tetangga”. (Dikeluarkan oleh Thobroni dalam Musnad Asy-syamiyyin 2430) [12]Dikeluarkan oleh Thabrani dalam Musnad Asy-syamiyyin 2430
Jika syariat Islam datang dengan membawa wasiat agar berbuat baik dengan tetangga yang bukan kerabat sekalipun dia Kafir, lalu bagaimana dengan tetangga yang Muslim dan masih kerabat??
Bersambung insyaallah…
Referensi :
Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzohullahu ta’ala halaman 101-105.
Diterjemahkan oleh Ahmad Imron Al Fanghony
Referensi
1 | HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47 |
---|---|
2 | HR. Bukhari no. 6019 dan Muslim no. 48 |
3 | Az-Zalzalah : 7–8 |
4 | HR. Muslim no. 1844 |
5, 6 | HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45 |
7 | HR. Muslim no. 46, Ahmad no. 8638, Al Bukhari no. 7818 |
8 | HR. Bukhari 6016, Muslim 46 |
9 | HR. Al-hakim dalam Mustadrak: 21 dan Ahmad no. 7878. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullahu ta’ala dalam shahih targhib dan tarhib no. 2550 |
10 | HR. Bukhari no. 6861 dan Muslim no. 86 |
11 | Al Jawaabul Kaafi 1/112 |
12 | Dikeluarkan oleh Thabrani dalam Musnad Asy-syamiyyin 2430 |